Otoritas tertinggi dalam Islam adalah al-Qur'an dan hadis. Namun pertanyaan akan siapa yang paling otoritatif untuk menafsirkan dua sumber hukum tersebut hingga sekarang terus menjadi perdebatan. Para ahli Islam setidaknya mencatat beberapa sumber otoritas dalam Islam. Pertama, karena sumber utama Islam berbahasa Arab, maka hanya mereka yang paham struktur gramatika, kosakata, semantik, dan retorika bahasa Arab sajalah yang dapat dan sah untuk menafsirkannya. Kedua, di beberapa daerah, tradisi lokal memiliki peran cukup penting dalam penentuan otoritas keagamaan. Di Afrika dan Asia Tenggara, misalnya, otoritas keagamaan cenderung diberikan kepada seseorang yang memiliki atau menguasai kekuatan gaib tertentu. Sementara di daerah yang memiliki tradisi su cukup kuat, otoritas itu diberikan kepada seseorang yang berhasil memperoleh kekeramatan lewat praktik-praktik asketik, atau karena memiliki latar belakang genealogis dengan Nabi. Ketiga, dalam konteks masyarakat modern, pendidikan dan penerjemahan kitab suci ke beberapa bahasa rupanya menjadikan konsep tentang otoritas dalam Islam mengalami perubahan yang cukup signi kan. Di masa ini, kapabilitas seseorang dalam menafsirkan urusan duniawi ke dalam istilah-istilah yang sangat Islami serta penegasan atas komitmen keislaman menjadi kata kunci untuk menentukan siapa yang berhak memiliki otoritas keislaman. Dalam konteks itu, seseorang yang meski tidak memiliki penguasaan ilmu-ilmu tradisional keislaman dan pernah belajar kepada ulama kenamaan dalam rentang waktu tertentu, namun memiliki kepekaan wacana Islam dalam berbagai urusan yang bersifat duniawi dapat dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas keagamaan.
A low-level of citizens' satisfaction with public services is one of the central issues in developing countries, including Indonesia. Attempts have been made to investigate factors influencing the quality of public services and citizens' satisfaction, as have been explored by scholars with such concepts as "customer orientation" and "customer satisfaction." What has received relatively less attention in this pursuit of customer satisfaction is a cultural dimension, namely how cultural traits of service providers and receivers impact on the mode of interactions and the degree of satisfaction. This study aims to explore whether local culture has positive impacts on the ways public services are evaluated and received by citizens or not. The type of the study is quantitative research. The total sample numbered is 381 from those who obtained public services. This study applied the correlation and linear regression analysis. The findings of the research undertaken in Indonesia, demonstrate that the cultural behavior of civil servants brings positive impacts on citizens' satisfaction. It is proposed that the reform programs for enhancing the quality of civil servants should pay attention to cultural aspects, which are crucial in determining how government services are perceived and appraised.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.