This article aims to describe the transformation of religious rituals and understanding among the Javanese Muslim community that migrated to the Gayo Highlands, Aceh Province, in the early twentieth century. This article is based on an ethnographic study by the author in the Gayo highlands of District Bener Meriah, Aceh Province. The author employs three primary data collection methods: observation, in-depth interviews, and documentation. The author also conducted a literature study pertinent to this paper to round out the data analysis. This study showed that religious belief and practice had been transformed among the Javanese migrants in Aceh over nearly a half-century. This transformation occurred from understanding the religion, which tends to be Kejawen, to Muhammadiyah's understanding. Then, after three decades, there was a fresh shift in understanding from Muhammadiyah to Dayah, which has continued until now. The Javanese migrants in Aceh are not resistant to changes in religious thought in their culture. Because not many Javanese migrants in Aceh studied religion specifically, anyone who comes will be easily accepted and welcomed. This makes religious transformation in Javanese migrant society in Aceh possible without significant conflict.AbstrakArtikel ini bertujuan menjelaskan transformasi pemahaman dan praktik beragama masyarakat muslim Jawa yang bermigrasi ke dataran tinggi Gayo provinsi Aceh pada awal abad ke 20. Artikel ini didasarkan pada penelitian etnografi yang penulis lakukan di dataran tinggi Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh dengan. Penulis menggunakan tiga teknik pengumpulan data utama yakni observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Untuk melengkapi analisis dan informasi, penulis juga melakukan kajian literatur yang relevan dengan artikel ini. Kajian ini menunjukkan bahwa transformasi pemikiran dan praktik beragama dalam masyarakat Jawa pendatang di Aceh telah terjadi sepanjang hampir setengah abad terakhir. Perubahan ini terjadi dari pemahaman agama yang cenderung kejawen kepada pemahaman Muhammadiyah. Kemudian, setelah tiga dekade terjadi perubahan baru dari pemahaman Muhammadiyah kepada pemahaman Dayah yang masih bertahan hingga saat ini. Masyarakat Jawa di Aceh cenderung tidak resisten pada perubahan pemikiran keagamaan yang ada di dalam masyarakat mereka. Hal ini disebabkan tidak banyak orang Jawa pendatang yang belajar agama secara khusus sehingga siapa saja yang datang ke sana untuk membawa agama akan diterima dan dipermudah. Hal inilah yang menjadikan transformasi keagamaan di dalam masyarakat Jawa pendatang dapat terjadi tanpa konflik yang berarti.