Latar belakang penulisan ini dari beberapa kejadian konflik di Kabupaten Lampung Selatan dimana penyebab konfliknya, yaitu adanya perseteruan antar siswa SMA, seorang pelajar SMP ditusuk di tempat organ tunggal, memperebutkan lahan parkir di pasar dan pelecehan sexual. Tujuan penulisan ini hendak mendeskripsikan dan menjelaskan tahapan konflik yang terjadi antar pihak-pihak yang berkonflik. Penulis menggunakan perspektif teoritis Simon Fisher tentang tahapan konflik, dan teori Johan Galtung tentang segitiga konflik sebagai landasan teoritis terkait proses tahap krisis, dimana sikap dipersepsikan oleh pihak-pihak berkonflik tentang isu pelecehan seksual. Penulis menggunakan pendekatan kualitatif, khususnya studi kasus di mana informan-informan ditentukan dengan purposive teknik sampling yang meliputi tokoh formal, tokoh informal dan anggota masyarakat dari kedua belah pihak yang berkonflik. Informasi dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi, studi dokumentasi. Kesimpulan, bahwa konflik kekerasan sebagai insiden konflik yang tergolong besar terjadi antar warga dan antar desa di wilayah perdesaan yang hidup bertetangga antara warga Desa Agom Kecamatan Kalianda dengan warga Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan, dimana pihak warga Desa Agom dengan massa pendukungnya yang merasa sebatin, spontanitas berusaha menyerang dan menghancurkan pihak warga Desa Balinurga dan digambarkan berdasarkan skala waktu, urut-urutan kejadian konflik dan pemetaan konflik, serta adanya upaya penyelesaian konflik oleh kedua belah pihak yang berkonflik maupun oleh pihak ketiga yang memiliki otoritas dengan melalui: membangkitkan kepercayaan bagi para warga kedua belah pihak yang berkonflik, memfasilitasi dialog oleh pemerintah daerah, negosiasi, mediasi dan arbitrasi, ada deklarasi perdamaian pada tahap akibat serta pada tahap pascakonflik dilaksanakan sosialisasi maklumat perjanjian perdamaian.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis konflik dengan melihat pembentukan aktor sebelum terjadinya konflik dan penyerangan dan menganalisis mekanisme pergerakan massa dalam menyerang dan atau saling menyerang pada saat terjadi konflik. Studi kasus menjadi pilihan dalam mendalami permasalahan ini mengingat kompleksitas permasalahan yang akan diteliti. Lokasi atau setting yang diambil berada pada Desa Agom dan Balinuraga, Kabupaten Lampung Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kekerasan selalu dianalogikan sebagai dangkal. Rangkaian model analisis ini, pada akhirnya bermuara pada pengabaian bahwa terdapat proses yang kompleks didalam kasus kekerasan. Memandang kekerasan sebagai suatu pristiwa dirasa kurang tepat dikarenakan kekerasan sesungguhnya adalah konsekuensi dari suatu proses yang kompleks. Demikian juga dengan mudahnya pergerakkan massa dikarenakan banyaknya bermunculan atau dimunculkan orang kuat desa yang mampu mempengaruhi banyak orang untuk memenuhi kepentingan orang kuat desa.
Penelitian ini hendak menggambarkan kondisi sosial-ekonomi komunitas petani korban gusuran PT BNIL di Kecamatan Banjar Margo, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Penelitian dilakukan dengan kerangka pemikiran ekonomi politik agraria dan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian akan dilakukan pada sample satu desa yang penduduknya korban gusuran PT BNIL serta menjadi pusat pengorganisiran serikat petani yakni desa Bujuk Agung. Kajian akademik dan laporan jurnalistik tentang konflik agraria yang melibatkan petani Tulang Bawang dan PT BNIL sudah banyak dihasilkan namun hampir seluruhnya membahas aspek konflik. Catatan rinci tentang kondisi sosial-ekonomi apalagi struktur agraria komunitas petani yang berkonflik itu belum tersedia. Padahal, tanpa adanya gambaran rinci tentang kondisi sosial-ekonomi komunitas petani tergusur, sulit untuk mengetahui seperti apa konsekuensi dari dan bagaimana proses penggusuran berdampak pada komunitas petani setempatan. Informasi rinci tentang kondisi sosial-ekonomi juga dapat digunakan dalam konteks penguatan kelembagaan organisasi petani untuk mendukung pelaksanaan reforma agraria dari “bawah” yang didorong oleh rakyat. Penelitian ini akan menghasilkan laporan tentang kondisi sosial-ekonomi sebagai dasar informasi guna menggambarkan stuktur agraria di wilayah konflik di Tulang Bawang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peranan KPID Provinsi Lampung dalam Pengawasan Lembaga Penyiaran di Provinsi Lampung. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran mengenai peranan KPID Provinsi Lampung dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap Lembaga Penyiaran yang pada prinsipnya meliputi dua bidang yaitu pengawasan terhadap isi siaran dan pengawasan di bidang perizinan. Dibidang isi siaran, KPID melakukan pembinaan/pengawasan lembaga penyiaran, monitoring lembaga penyiaran, peningkatan sistem monitoring dan evaluasi serta melakukan penertiban pengaduan masyarakat. Sedangkan dibidang perizinan, KPID melakukan berbagai kegiatan antara lain pengembangan komunikasi dan informasi, Evaluasi Dengar Pendapat (EDP), Forum Rapat Bersama (FRB) dan Penilaian Uji Coba Siara Lembaga Penyiaran
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang anatomi konflik, dan untuk mengidentifikasi pola sebaran konflik menurut wilayah, dampak konflik, dan langkah penanganan pasca konflik dalam konteks pembangunan infrastruktur. Kajian ini menggunakan gabungan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Model gabungan dua pendekatan dengan satu pendekatan dominan secara metodologi ini merujuk kepada model yang disebut dominant-less dominant design of mixed-methodology. Penelitian dilakukan di Kecamatan Way Panji, Natar, Jati Agung, dan Tanjung Sari, mengingat konflik-konflik yang pernah terjadi sebelumnya sudah dapat diselesaikan namun masih dapat dikenang dan berujung pada konflik selanjutnya. Selain itu, setiap kecamatan memiliki klasifikasi konflik yang berbeda (suku, agama, pemerintah, perusahaan, dan dampak pembangunan infrastruktur). Studi ini menemukan bahwa konflik sosial di Kabupaten Lampung Selatan disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang mengabaikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat. Mekanisme penanganan konflik seringkali kehilangan akar penyebab perselisihan, sehingga sulit untuk diselesaikan. Konflik dapat terjadi dari setidaknya empat sumber: berdasarkan hubungan pribadi, kepentingan ekonomi, perbedaan nilai (misalnya, keyakinan agama, etnis), dan faktor struktural. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik sosial berbeda-beda, tergantung dari perilaku para aktor yang terlibat. Terkadang konflik antar individu atau kelompok kecil berkembang menjadi konflik antar kelompok yang lebih besar. Kualitas masalah yang dihadapi terkadang dapat menimbulkan konflik antar kelompok. Ini dapat dipicu oleh masalah yang sederhana dan tidak realistis, atau oleh masalah yang lebih realistis dan mendasar. Ketika mencoba menyelesaikan konflik sosial, penting untuk mengikuti prinsip musyawarah dan mufakat. Hal ini dapat dilakukan melalui mediasi. Pemrosesan difokuskan pada penyelesaian konflik yang belum terselesaikan.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.