Background: The end phase of the development stage of adolescents should have matured themselves in understanding gender roles in accordance with their sexual roles. Gender dysphoria occurs when adolescents experience sexual identity disorders which experience confusion over gender roles that are contrary to their sexual roles, so that they tend to like the same sex. Research Objectives: To identify gender dysphoria in senior high school students in Samarinda City. Methods: A descriptive study with a cross-sectional approach to 322 students in the city of Samarinda which was taken using a non-probability sampling technique: cluster random sampling. The instrument used was the Gender Dysphoria Test from psycom, through online filling. Results: Students who experienced severe-gender dysphoria were 7.8% and mild-GD around 92.2%. More women (9.3%) experienced strong gender dysphoria than men (4.2%). There are 1.2% students who want to change their gender and 7.8% of students who do not like secondary sex characteristics at this time. Conclusion: Severe-Gender dysphoria high school students has a small prevalence, GD can occur because biological or psychosocial factors can be seen from the desire and comfort of being a different gender than it should be.
Latar Belakang: Penyakit Tuberkulosis Paru (TB) merupakan penyakit infeksi dan masa penyembuhan yang lama sehingga tidak jarang penderita tuberkulosis paru mendapatkan stigma sosial yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya depresi pada pasien tuberkulosis paru. Tujuan: Menganalisis arah korelasi stigma sosial dengan depresi pada pasien tuberkulosis paru. Metode: Desain penelitian korelasi dengan pendekatan cross sectional dengan teknik pengambilan data Consecutive Sampling. Sampel yang digunakan sebesar 46 responden masyarakat disekitar pasien tuberkulosis paru dan 22 responden tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan, masih sehat dan tidak rawat inap. Pengumpulan data dengan kuesioner stigma sosial dan BDI (Beck Depression Inventory). Uji dengan menggunakan korelasi person. Hasil: Skor rerata stigma sosial 37,07 (SD: 8,928, min-max: 15-45). Skor rerata BDI (Beck Depression Inventory) 51,18 (SD: 9,669, min-max: 26-63). Uji korelasi person didapatkan (pvalue 0,47, r -0,294). Kesimpulan: Adanya korelasi dengan arah negatif antara stigma sosial dan depresi pada pasien tuberkulosis paru dengan kekuatan sedang dimana semakin rendah stigma maka akan semakin tinggi depresi pasien tuberkulosis paru.
Kanker merupakan salah satu masalah utama kesehatan diberbagai negara. Diagnosis dan pengobatan kanker dapat menimbulkan berbagai masalah spiritual seperti marah kepada Tuhan, merasa ditinggalkan oleh Tuhan, merasa doa tidak pernah dikabulkan. Spiritualitas yang rendah juga dikaitkan dengan kualitas hidup yang rendah. Kualitas hidup memiliki struktur multidimensi yang mencakup fungsi fisik, mental, sosial dan kognitif. Kualitas hidup yang baik disebabkan karena individu memiliki penanganan religius koping yang positif seperti menganggap Tuhan sebagai sumber kekuatannya sedangkan penanganan religius koping yang negatif seperti mempertanyakan Tuhan dapat mempengaruhi kualitas hidup yang lebih buruk. Untuk dapat memiliki kesehatan mental dan perasaan positif, serta dapat menerima diri dari efek kemoterapi biasanya diperlukan metode pendekatan yang dapat membantu dalam menyelesaikan masalah yaitu dengan metode penyuluhan. Kegiatan Pendidikan kesehatan (penyuluhan) kesehatan mengenai pentingnya spiritual dalam meningkatkan kualitas hidup pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi ini ditujukan pada pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi dan pendamping pasien di rumah singgah kanker Kota Samarinda. Sebanyak kurang lebih 30 peserta yang terlibat dalam kegiatan ini. Hasil penyuluhan pasien kanker yang sedang menjalani kemoterapi dan pendamping pasien di rumah singgah kanker jalan delima 1, Kota Samarinda dengan total 30 orang dikategorikan berhasil karena terjadi peningkatan kualitas hidup setelah dilakukan penyuluhan dan dievaluasi setelah 4 minggu. Peserta penyuluhan terkait materi penyuluhan dan masyarakat tersebut mengharapkan ada kegiatan serupa dapat dilanjutkan dan dikembangkan menjadi kegaiatan yang rutin di rumah singgah kanker
Latar Belakang: Pembedahan merupakan suatu peristiwa besar dalam hidup seseorang yang menjalaninya, oleh karenanya stress psikologis dalam bentuk kecemasan menjadi hal yang umum ditemukan dan kondisi ini menjadi tantangan dalam persiapan pasien menjelang tindakan operasi (pre operasi). Tujuan: mengidentifikasi gambaran tingkat kecemasan pada pasien pre operasi sectio caesarea. Metode : Jenis penelitian Deskriptif, pendekatan cross-sectional. Sampel 50 responden dengan teknik pengambilan sampel metode nonprobability sampling dengan kriteria inklusi: pasien pre operasi sectio caesarea, pasien sadar dan paien tidak mengalami gangguan kognitif. Instrumen kecemasan menggunakan VFAS (Visual Facial Anxiety Scale). Hasil: ditemukan kecemasan meliputi tingkat sedang (38%), ringan (32%) dan tidak cemas (30%). Kesimpulan: Pasien pre operasi sectio caesarea mengalami kecemasan sedang dominan berusia dewasa, berpendidikan tinggi, dengan riwayat pernah mengalami operasi sebelumnya, dan berpengetahuan baik. Diharapkan edukasi pasien yang akan menjalani pembedahan dapat lebih dioptimalkan.
Warga binaan permasyarakatan (WBP) merupakan kelompok khusus komunitas yang memiliki berbagai macam kasus, salah satunya adalah HIV-AIDS. Adanya kasus tersebut di lingkup rumah tahanan menjadi stigma tersendiri bagi para penghuni rumah tahanan yang bukan sebagai penderita. Sebagaimana yang terjadi di rumah tahanan, stigma yang muncul bersifat negatif akibat ketakutan jika tertular dari tahanan yang menderita HIV-AIDS. Untuk mengetahui gambaran stigma sosial warga binaan permasyarakatan terhadap orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Rancangan penelitian kuantitatif menggunakan desain deskriptif dengan pendekatan survey. Penelitian ini menggunakan 236 responden. Penelitian dilakukan pada bulan November 2019, dengan menggunakan skala likert serta uji statistik deskriptif. Hasil penelitian diperoleh pada stigma sosial positif sebesar 53,8% dan stigma sosial negatif sebesar 46,2%. Adapun stigma positif berdasarkan dimensi separation yaitu sebesar 67,8%, sedangkan stigma negatif berdasarkan dimensi diskriminasi yaitu sebesar 48,3%. Gambaran stigma sosial warga binaan permasyarakatan terhadap penderita HIV-AIDS di rumah tahanan berupa stigma positif dan stigma negatif, maka pihak lembaga bina permasyarakatan diharapkan mampu memberikan edukasi kepada warga binaan permasyarakatan secara berkelanjutan terkait penularan HIV-AIDS guna menurunkan stigma negatif tentang orang dengan HIV-AIDS (ODHA)
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.