AbstrakHakim memiliki peran strategis terhadap perlindungan nafkah 'iddah dan nafkah madhiah (nafkah masa lalu) pasca perceraian. Hal ini dikarenakan perempuan seringkali terabaikan nafkahnya pada saat masih berada dalam ikatan perkawinan. Sensitivitas hakim terhadap perempuan di persidangan sangat penting agar putusan bermanfaat dan mengakomodir hak isteri mendapatkan nafkah 'iddah dan nafkah madhiah pasca perceraian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sensitivitas hakim terhadap nafkah isteri pasca perceraian, peran hakim dalam merealisasikan nafkah isteri dan alasan hakim tidak memberikan nafkah isteri dalam putusan. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum yuridis empiris dengan lokasinya di Mahkamah Syar'iyah Meulaboh dan Mahkamah Syar'iyah Aceh Tamiang. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif kemudian dideskripsikan secara sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim memiliki sensitivitas perlindungan nafkah iddah dan madhiah pasca perceraian. Sensitivitas tersebut dinilai dengan dua indikator yaitu upaya hakim dalam merealisasikan nafkah dengan menggunakan hak ex officio (kewenangan karena jabatannya) meskipun tidak diminta oleh isteri dalam gugatannya dan perealisasian nafkah yang ditetapkan dalam putusan dengan menunda prosesi ikrar talak sebelum dilunasi nafkah baik nafkah iddah maupun nafkah madhiah dalam putusan. Peran hakim terhadap perlindungan nafkah isteri yaitu Memberikan Gambaran tentang Hak-Hak Perempuan, melakukan sosialisasi terhadap hak-hak isteri, alasan hakim tidak memberikan nafkah kepada isteri disebabkan oleh dua factor yaitu intetenal dan eksternal: factor internal disebabkan Perempuan Tidak Mengetahui haknya, hanya meminta surat cerai, Isteri Marah Berlebihan suaminya, biaya eksekusi mahal, Anggapan Materialistik, Isteri Ingin Hidup Bersama Bukan Uangnya. Faktor eksternal yaitu hakim bersifat pasif, biaya eksekusi mahal dan aturan hokum tidak memberi kewenangan menggunakan hak ex officio (kewenangan karena jabatan) bagi hakim untuk memberikan nafkah madhiah bagi isteri. Kata Kunci : Nafkah Madhiah, Sensitivitas & Gender. A. PendahuluanPerselisihan dalam rumah tangga yang berakhir dengan perceraian selalu menempatkan isteri sebagai pihak yang dirugikan. Terutama berkaitan dengan nafkah isteri yang ditinggal (nafkah madhiah) yang merupakan salah satu persoalan pasca perceraian di samping persoalan lain seperti penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri 44| Gender Equality: International Journal of Child and Gender StudiesSensitivitas Hakim terhadap Perlindungan Nafkah Isteri pasca Perceraian
ABSTRAKAnak yang telah mumayiz diberikan kebebasan memilih tinggal bersama ibu atau ayahnya. Kesempatan untuk memilih harus dinyatakan secara eksplisit dalam putusan untuk menghindari konflik di kemudian hari antara kedua orang tuanya. Berbeda dalam Putusan Nomor 175/PDT.G/2011/MS-BNA yang tidak langsung menetapkan anak yang telah mumayiz diasuh oleh ibu atau ayahnya. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari demi memperebutkan anak tersebut. Permasalahannya adalah bagaimana aspek kepastian hukum terhadap pemeliharaan anak mumayiz dalam Putusan Nomor 175/PDT.G/2011/MS-BNA, dan bagaimana perlindungan hukum bagi anak mumayiz yang belum menentukan pilihannya? Penelitian ini termasuk penelitian empiris dan datanya diperoleh melalui wawancara hakim dan putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Nomor 175/PDT.G/2011/MS-BNA tidak mencerminkan kepastian hukum bagi anak yang telah mumayiz. Hal ini dikarenakan anak yang berumur 14 dan 18 tahun tidak jelas berada di bawah pengasuhan ibu atau ayahnya. Perlindungan hukum bagi anak mumayiz yang belum menentukan sikap/pilihan menjadi kewajiban bersama kedua orang tua untuk mengasuh dan memeliharanya. Jika anak sudah menentukan pilihan dan memilih ibu sebagai pengasuhnya, maka ia wajib memelihara dan mengasuhnya hingga dewasa dan ayah berkewajiban memberikan nafkah kepadanya. Sebaliknya, jika ayah menjadi pilihannya, kewajiban mengasuh, merawat, dan menafkahi menjadi kewajibannya.Kata kunci: kepastian hukum, pengasuhan, perceraian, anak mumayiz. ABSTRACTA Minor who has been mumayiz is given freedom to choose to live either with the mother or father. The decision should be explicitly stated in court decision to avoid future conflicts between the parents. In contrast, Court Decision Number 175/PDT.G/2011/MS-BNA did not in a straight line determine the status of a minor who has been mumayiz to be raised by either the mother or father. This could lead to legal dispute of fighting over the minor in the future. The question is how the legal certainty in the custody of minors with mumayyiz status in Court Decision Number 175/PDT.G/2011/MS-BNA and how the law provide protection for them who have not made their choice yet? This study is done by empirical research and the data collected through interviews of judges and the ruling of Syar’iyah Court of Banda Aceh. The results show that the Court Decision Number 175/ PDT.G/2011/MS-BNA does not reflect legal certainty for the minors with the status of mumayiz. This is because the law does not set off that minors aged of 14 and 18 are in care of their mother or father. While the law has set for minors who have not mumayiz because of the existence of parenting to the mother has been confirmed in the verdict. Legal protection for undecided custody of mumayiz minors will be obliged to their both parents to nurture and raise. If the child has made a choice and chooses the mother as the caregiver, then she is obliged to care and nurture the child to adulthood, and the father is obliged to provide a livelihood for the child. On the other hand, if the father becomes the child’s choice, the obligation to care, nurture, and provide a livelihood becomes his duty.Keywords: legal certainty, custody, divorce, mumayiz minors.
Secara yuridis, korban pemerkosaan berhak meminta restitusi (ganti kerugian) kepada kepada pelaku, namun fakta empiris menunjukkan masih adanya pihak korban maupun keluarganya yang belum menuntut restitusi. Beberapa contoh putusan yang tidak diberikan ganti kerugian yaitu Nomor 0003/JN/2016/MS.Ttn. di mana perempuan tidak diberikan restitusi kepadanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan restitusi dalam penanganan kasus jarimah pemerkosaan bagi anak, apa faktor-faktor yang menghambat perealisasian ganti kerugian bagi korban dan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban dalam kasus pemerkosaan di Aceh?. metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris yakni mengkaji penerapan aturan restitusi dalam kenyataan empiris. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan hakim yang pernah mengadili perkara pemerkosaan. Penelitian dilakukan di Mahkamah Syar’iyah Takengon dan Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan restitusi dalam Qanun Hukum Jinayat kurang memprioritaskan kepentingan korban, karena korban harus meminta terlebih dahulu baru bisa dikabulkan oleh hakim dan berkoordinasi lebih lanjut dengan JPU. Faktor penghambat perealisasian restitusi yaitu kesadaran hukum rendah, penegak hukum kurang teliti memahami konsep restitusi, korbannya anak-anak, stigma merendahkan martabat perempua dan kelemahan finansial pelaku. Perlindungan hukum bagi anak korban yaitu adanya restitusi, anak didampingi oleh P2TP2A, dan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku berupa penjara agar pelaku tidak bertemu lagi dengan anak korban.
The article discusses the concretization of urgent reasons and sufficient evidence for granting marriage dispensations in Law Number 16 Year 2019. This purpose of this study is how to concretize urgent reasons and sufficient evidence by the judge inproviding marriage dispensations for children. Researchers used empirical legal research methods and primary legal materials, secondary legal materials and primary data obtained through interviews with Syar’iyah court judges. Data analysis was performed prescriptively to provide an assessment of the implementation of the Marriage Law. The results showed that the petition for marriage dispensation for children after the legitimation of Law Number 16 Year 2019 increased despite being complicated by the Supreme Court Regulations and it was resulted that the age of the petitionfor marriage dispensation between 15 and 19 years old. Children must attend the court for obtaining the advice related to the risk of child marriage. Concretization of the urgent condition and sufficient evidence is carried out with observing the facts at thecouncil, namely worrying about acts that are prohibited from religion, getting pregnant out of wedlock and doing tandem (khalwat). The sufficient evidences were concreted by the judge. He/She requested the witnesses who knew the background of the parents and prospective husband/ wife attended the council to investigate the reasons for the marriage of the child and proof of marriage rejection from the KUA, Child Identity Cards, birth certificates and final diplomas. It is recommended that judges must prioritize the best interestfor the children and the reproductive health certificate from the hospital should be requested.
Women have a smaller part of participation in creating creating gampong reusam (village rules) that regulate the children. The women participation is crucial in meeting the gender based role representation. This research aimed to know more about women mechanism and their participatio now and the process how they are actively involved in formulating Gampong Reusam in Aceh Besar. The compilation was done by doing the deliberation in meunasah and balee (balai) by involving the social elements, especially in gampong, involves women and children figures. To invite the woman, the committee uses loudspeaker in meunasah and delivered orally by Keuchik (the village leader). Involvement of women is usually done by invited by loudspeakers in meunasah and also delivered orally by Keuchik (Village Head). The presence of women has not been maximized in the attempt of preparing the reusam gampong because the arrangement is done at night, time to rest, keeping the children at home, the weather is not supporting because of the rain. The role of women in the village reusam has been represented in the context of the handling of children against the law.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.