Penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk stigma dan diskriminasi sehingga belum dapat berkontribusi aktif secara optimal dalam pembangunan. Hal tersebut membatasi kesempatan dan akses penyandang disabilitas dalam mendapatkan haknya di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan kesejahteraan, serta perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2020) menunjukkan jumlah penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 22,5 juta atau 5 persen dari total penduduk Indonesia. Sementara, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Tenaga Kerja dan Perindustrian (2021) jumlah penyandang disabilitas usia kerja adalah sebanyak 17,74 juta dan 7,8 juta orang di antaranya dalam status bekerja. Artinya, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) disabilitas mencapai 44 persen, atau lebih rendah dari TPAK nasional yang mencapai 69 persen (BPS, 2020). Indonesia telah berkomitmen untuk turut menjalankan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dipandu prinsip universal, integratif dan inklusif guna menjamin bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan dalam agenda pembangunan atau “No-one Left Behind”. Komitmen tersebut telah diturunkan dalam sejumlah peraturan dan kebijakan, yang disertai dengan upaya mendorong semua elemen bangsa untuk menjamin hak asasi manusia, termasuk pemenuhan hak penyandang disabilitas. Sejumlah langkah yang mendukung hal tersebut antara lain: Ratifikasi the UN Universal Declaration of Human Rights melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik, dan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD) melalui UU Nomor 19 Tahun 2011. Komitmen tersebut juga terlihat dari perubahan pada UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang lebih mengandalkan sisi sosial (charity) dan kesehatan. Dengan terbitnya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pendekatannya telah bergeser ke arah inklusivitas dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia. Salah satu isu penting dalam meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas adalah pemenuhan teknologi alat bantu (assistive technology). UU No. 8/2016 [Pasal 1] mendefinisikan alat bantu sebagai benda yang berfungsi membantu kemandirian penyandang disabilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Alat bantu berbeda dari alat bantu kesehatan. Menurut UU No. 8/2016 tersebut, alat bantu kesehatan didefinisikan sebagai benda yang membantu mengoptimalkan fungsi anggota tubuh penyandang disabilitas berdasarkan rekomendasi dari tenaga medis. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam memenuhi kebutuhan alat bantu untuk penyandang disabilitas, antara lain melalui pembiayaan dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, masih ada kesenjangan antara tingginya kebutuhan dengan ketersediaan alat bantu. Padahal, teknologi alat bantu merupakan kebutuhan dasar yang bisa memberi pengaruh besar bagi peningkatan kesejahteraan dan partisipasi penyandang disabilitas dalam pembangunan. Selain itu, penyediaan alat bantu merupakan wujud dari salah satu upaya menjamin kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan. Melihat situasi tersebut, Kementerian Sosial (Kemensos), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), serta Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) perlu bekerja bersama guna mendorong sekaligus menjamin penelitian, pengembangan, pengadaan, serta pemenuhan teknologi alat bantu bagi penyandang disabilitas.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Warga negara, tidak terkecuali penyandang disabilitas berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan dilindungi haknya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 67 disebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Hak atas pekerjaan juga semakin ditegaskan sebagai komitmen global Indonesia dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khusus Tujuan Nomor 8 yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua. Indonesia memperkuat komitmennya dengan meratifikasi United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) melalui UU 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas. Dalam Pasal 27 dimandatkan untuk mempromosikan pekerjaan penyandang disabilitas di sektor publik dan swasta melalui kebijakan dan tindakan yang tepat, termasuk kebijakan afirmatif, insentif dan tindakan lainnya. Komitmen global tersebut juga terefleksi dengan mengedepankan pendekatan inklusivitas atas pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia dan tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Isu disabilitas juga menjadi isu prioritas Presidensi Indonesia dalam Forum G20 yaitu adanya untuk pasar kerja yang inklusif dan afirmasi pekerjaan yang layak untuk penyandang disabilitas. Ketenagakerjaan inklusif adalah konsep pengelolaan ketenagakerjaan yang mempertimbangkan aspek penghormatan terhadap hak asasi dengan mengikutsertakan dan mengintegrasikan semua orang atas dasar kesetaraan. Namun demikian, sejumlah program dan layanan ketenagakerjaan inklusif belum efektif menjangkau semua penyandang disabilitas. Mereka masih banyak mengalami kesulitan mendapatkan hak akses pekerjaan. Penyandang disabilitas termasuk kelompok yang paling terdampak oleh stigma, segregasi, dan sekarang oleh pandemi. Besarnya jumlah penyandang disabilitas usia produktif memerlukan dukungan dalam mengakses pasar tenaga kerja. Kebijakan kuota perekrutan pekerja disabilitas yaitu 1% untuk perusahaan swasta dan 2% untuk pemerintah dan BUMN, merupakan bentuk afirmasi yang membutuhkan komitmen serta dukungan para pihak dalam pelaksanaannya. Pasar kerja yang afirmasi dan inklusif tidak akan terlaksana tanpa penyiapan tenaga kerja disabilitas yang kompetitif dan berkualitas.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.