No abstract
The patterns and processes of female labor migration from Indonesia to major destination countries are extremely complex, as are the related gender issues. The high demand for female labor migrants, rapid economic growth in destination countries and the current socio-economic situation in Indonesia have resulted in greater priority being given to meeting government targets for female labor export than to protecting the female labor migrants themselves. The very nature of domestic work puts unskilled females in a highly unequal power relationship with recruiters, agencies and employers in the destination countries. Each change in the Indonesian government and its policies toward migrants gives new opportunities for NGOs to carve out roles for themselves in community development. Even though female labor migration only concerns a few NGOs in Indonesia, their role — in defining the issues, approaches, strategies and ideologies surrounding Indonesian female migration — is widening and evolving, leading them to develop new modes of collaboration between government and non-governmental institutions.
Indonesia adalah salah satu negara yang turut menyepakati rencana aksi global atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang bertujuan untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. Komitmen global Indonesia dalam SDGs diperkuat dengan mendukung prinsip-prinsip universal, integrasi dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan atau “No-one Left Behind”. Bentuk komitmen ini telah diturunkan dalam peraturan dan kebijakan yang bertujuan untuk mendorong semua elemen bangsa untuk kemajuan hak asasi manusia, termasuk upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas (Fajri, 2021). Hal ini terefleksi dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang mengedepankan pendekatan inklusivitas atas pemenuhan hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Undang-undang tersebut telah diturunkan ke dalam berbagai Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri (Permen),serta peraturan di tingkat daerah berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan/Keputusan Gubernur, atau Peraturan/Keputusan Bupati/Walikotayang hingga saat ini tersebar di 20 provinsi dan 36 kabupaten/kota. Dari jumlah tersebut, sekitar 6 provinsi dan 20 kabupaten/kota telah memiliki aturan yang sesuai dengan konsep disabilitas baru (pendekatan hak dan sosial) yang diusung oleh UU No. 8 Tahun 2016 (Hastuti et al., 2020). Tantangan mewujudkan komitmen menjadi perubahan yang bermakna dengan adanya Rencana Induk Pembangunan Disabilitas (2019) dan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (2021) menjadi layak diapresiasi. Demikian pula, telah berkembangnya pusat studi dan layanan disabilitas di tingkat universitas maupun lembaga masyarakat, termasuk berbagai organisasi penyandang disabilitas yang secara intensif mendorong dan mengawal peningkatan pemenuhan hak para penyandang disabilitas. Namun demikian, sejumlah program dan layanan yang ada masih belum efektif menjangkau semua penyandang disabilitas dalam mengatasi kesulitan hidupnya. Kondisi ini tidak terlepas dari bagaimana riset berperan dalam perubahan kebijakan. Sampai saat ini, riset yang mendasari pembuatan kebijakan terkait kesetaraan, keadilan dan pengarusutamaan disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia masih sedikit (Pudjiastuti, 2021) Ditambah lagi, periset penyandang disabilitas masih kesulitan dalam mengakses pendanaan riset yang umumnya berasal dari empat sumber yaitu: dana internal perguruan tinggi, Kemendikbudristek, BRIN, dan skema pendanaan riset lainnya. Potensi pendanaan risettentang penyandang disabilitas akan dapat dioperasionalkan ketika roadmap agenda riset dan inovasi nasional 2023-2029 mulai dijalankan. Oleh karena itu, penting bagi misi riset dan inovasi di Indonesia untuk diarahkan mendukung pendanaan riset sehingga dapat berkontribusi dalam perumusan kebijakan yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan penyandang disabilitas dan mendukung kemampuan mereka berperan aktif dalam pembangunan (Pudjiastuti, 2022).
Penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk stigma dan diskriminasi sehingga belum dapat berkontribusi aktif secara optimal dalam pembangunan. Hal tersebut membatasi kesempatan dan akses penyandang disabilitas dalam mendapatkan haknya di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan kesejahteraan, serta perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2020) menunjukkan jumlah penyandang disabilitas diperkirakan mencapai 22,5 juta atau 5 persen dari total penduduk Indonesia. Sementara, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Tenaga Kerja dan Perindustrian (2021) jumlah penyandang disabilitas usia kerja adalah sebanyak 17,74 juta dan 7,8 juta orang di antaranya dalam status bekerja. Artinya, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) disabilitas mencapai 44 persen, atau lebih rendah dari TPAK nasional yang mencapai 69 persen (BPS, 2020). Indonesia telah berkomitmen untuk turut menjalankan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dipandu prinsip universal, integratif dan inklusif guna menjamin bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan dalam agenda pembangunan atau “No-one Left Behind”. Komitmen tersebut telah diturunkan dalam sejumlah peraturan dan kebijakan, yang disertai dengan upaya mendorong semua elemen bangsa untuk menjamin hak asasi manusia, termasuk pemenuhan hak penyandang disabilitas. Sejumlah langkah yang mendukung hal tersebut antara lain: Ratifikasi the UN Universal Declaration of Human Rights melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik, dan Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD) melalui UU Nomor 19 Tahun 2011. Komitmen tersebut juga terlihat dari perubahan pada UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang lebih mengandalkan sisi sosial (charity) dan kesehatan. Dengan terbitnya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pendekatannya telah bergeser ke arah inklusivitas dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai warga negara Indonesia. Salah satu isu penting dalam meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas adalah pemenuhan teknologi alat bantu (assistive technology). UU No. 8/2016 [Pasal 1] mendefinisikan alat bantu sebagai benda yang berfungsi membantu kemandirian penyandang disabilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Alat bantu berbeda dari alat bantu kesehatan. Menurut UU No. 8/2016 tersebut, alat bantu kesehatan didefinisikan sebagai benda yang membantu mengoptimalkan fungsi anggota tubuh penyandang disabilitas berdasarkan rekomendasi dari tenaga medis. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam memenuhi kebutuhan alat bantu untuk penyandang disabilitas, antara lain melalui pembiayaan dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, masih ada kesenjangan antara tingginya kebutuhan dengan ketersediaan alat bantu. Padahal, teknologi alat bantu merupakan kebutuhan dasar yang bisa memberi pengaruh besar bagi peningkatan kesejahteraan dan partisipasi penyandang disabilitas dalam pembangunan. Selain itu, penyediaan alat bantu merupakan wujud dari salah satu upaya menjamin kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan. Melihat situasi tersebut, Kementerian Sosial (Kemensos), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), serta Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) perlu bekerja bersama guna mendorong sekaligus menjamin penelitian, pengembangan, pengadaan, serta pemenuhan teknologi alat bantu bagi penyandang disabilitas.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.