The Concept of Joint Assets and its Implementation in the Religious Court. Legislation in Indonesia stipulates that any property acquired during marriage becomes joint property of husband and wife, without distinguishing who works and who registered the property. If the marriage come to an ends, either through death or divorce, the property must be divided equally. In general, this study found that a panel of judges in the religious court division decided a case of the distribution of joint property is not outside of the statutory rules. Since no agreement or reconciliation had been made by the husband and wife in dispute about the portion of the division of their property, the judge decided that the joint property be divided in the same amount. However, if there is an agreement between husband and wife, the division of the joint property will be based on that agreement.Keywords: community property, Compilation of Islamic Law, judgment, Court of Religion.Abstrak: Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama. Perundang-undangan di Indonesia mengatur bahwa setiap harta yang diperoleh selama perkawinan dijadikan sebagai harta bersama suami isteri, tanpa membedakan siapa yang bekerja dan harta itu terdaftar atas nama siapa. Apabila perkawinan itu berakhir, baik karena kematian maupun karena perceraian, maka harta tersebut harus dibagi dua sama banyak nilainya. Penelitian ini menemukan data bahwa secara umum majelis hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara pembagian harta bersama tidak keluar dari aturan perundang-undangan tersebut. Selama tidak ada kesepakatan atau perdamaian yang dibuat oleh suami dan isteri yang bersengketa tentang porsi pembagian harta bersama, majelis hakim memutuskan harta bersama tersebut dibagi sama banyak. Namun, apabila terdapat kesepakatan antara suami dan isteri, pembagian harta bersama didasarkan atas kesepakatan yang mereka buat.Kata Kunci: harta bersama, Kompilasi Hukum Islam, putusan hakim, Pengadilan AgamaDOI: 10.15408/ajis.v12i1.980
Abstract:Gender discourse is an issue that has its distinct challenges in Islamic studies. This is due to the notion that gender discourse emerged from the western world and is also considered less linear with Islamic studies. The main cause of this impression is due to a lack of proportional understanding. Gender does not actually treat a person on the basis of sex, but on one's competence. If the gender approach is biological-natural and irreversible, then the gender approach is constructive-social, not natural, and thus can be altered. This paper argued that Qur'an Hadith as the primary source of Islam ensures that in the issues of position, worship, and law, men and women have equal position. Nonetheless, some aspects of fiqhiyah (Islamic jurisprudence) as an implementation of the primary source's understanding are still considered biased. The differences of thinking, the culture of society, and the challenges faced by imam fiqh (Islamic jurisprudence leaders) contribute to gender biasKeywords: Gender, Islamic Law, Fiqh Abstrak: Wacana gender merupakan isu yang memiliki tantangan tersendiri dalam kajian keislaman. Di samping lahir dari dunia Barat, wacana ini dipandang kurang linier dengan kajian keislaman. Kesan ini cenderung didasarkan atas pemahaman yang kurang proporsional. Gender bukanlah memperlakukan seseorang atas dasar jenis kelamin, tetapi atas kompetensi seseorang. Jika pendekatan jenis kelamin itu bersifat biologis-kodrati dan tidak dapat diubah, maka pendekatan gender bersifat konstruk-sosial, bukan kodrati, dan dapat diubah. Sumber primer Islam, seperti Alquran Hadits, memastikan dalam persoalan kedudukan, ibadah, dan hukum antara laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sama. Namun, sebagian dari aspek fiqhiyah sebagai implementasi atas pemahaman sumber primer itu dipandang masih bias. Perbedaan pemikiran, budaya masyarakat, dan tantangan yang dihadapi oleh para imam fiqh berkontribusi atas bias gender.Kata Kunci: Gender, Hukum Islam, Fiqh
Hadith scholars have developed a rigorous discipline for studying and examining the validity of writings attributed to the Prophet Muhammad. Significant research has been published on hadith with respect to its narration (sanad) and text or content (matn). What remains underdeveloped is the role of substantive criticism of the validity of hadith. This article examines the discourse of hadith criticism and provide analytical description and a critical approach for how the validity of a hadith can be determined. It argues that substantive criticism is necessary for proper and acceptable understanding of hadith and in turn for determining the validity of hadith. In addition to a methodology for hadith criticism, the article examines how the meaning of hadith is important in the hadith studies. The article’s main argument concerns the significance of contextual understanding of hadith in any critical study of hadith.[Sarjana hadis telah mengembangkan disiplin yang ketat untuk mempelajari dan memeriksa keabsahan tulisan-tulisan yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad. Banyak tulisan yang membahas narasi (sanad) dan teks serta konten (matn) telah dupublikasi. Dari banyaknya karya tersebut pembahasan yang lebih lanjut untuk dituliskan adalah peran kritik substantif terhadap validitas hadits. Artikel ini mengkaji wacana kritik hadis dan memberikan gambaran analitis dan pendekatan kritis tentang keabsahan sebuah hadis. Paper ini berpendapat tentang kritik substantif diperlukan untuk pemahaman hadits yang tepat dan dapat diterima untuk menentukan validitas hadits. Selain metodologi kritik hadis, artikel ini mengkaji makna hadis dalam kajian hadis. Argumen artikel ini menyangkut pemahaman kontekstual hadits dalam setiap studi kritis pada hadits]
The primary issue addressed in this research is the Presidential Staff Office's position in the Indonesian constitutional system following the issuance of Presidential Regulation No. 26 of 2015 regarding the Presidential Staff Office. According to Articles 1 to 4 of Presidential Regulation Number 26 of 2015, the Presidential Staff Office's role is to improve the smooth control of national priority programs and to organize presidential political communication as well as to manage strategic issues. This research employs a normative legal methodology. The findings of this study indicate that the Presidential Staff Office (KSP) falls into a category of state organs that are auxiliary/supporting (auxiliary organ state) to the implementation instruments of the primary state institutions (main organ state/constitutional organ), with a hierarchical structure of group/third-tier state institutions that derive their authority from the regulator/establishment under the law or via a Presidential Decree.
Tujuan penelitian ini untuk menawarkan regulasi yang berdampak pada kemaslahatan yang lebih nyata, termasuk bagi isteri pelaku perkawinan diaspora. Maka pilihan untuk menjadi warga negara baik WNI maupun WNA tetap terbuka lebar, sehingga memiliki kesempatan untuk menentukan keputusan terbaiknya. Dalam perspektif mashlahah mursalah, kemanfaatan yang dapat dirasakan oleh seluruh manusia merupakan pertimbangan penting untuk menetapkan suatu hukum yang sejalan dengan maksud ditetapkannya dalam syariat Islam, yakni memberikan kemaslahatan bagi semua umat. Sedangkan metode penelitiannya menggunakan pendekatan normatif dengan dominasi perspektif maslahah mursalah, di mana tidak ada nash yang melarang atau menetapkan atas perkawinan diaspora. Oleh karenanya, pertimbangan kemaslahatan yang patut dijadikan pertimbangan putusan mashlahah mursalah dalam persoalan implikasi perkawinan diaspora terhadap hak keluarga. Hal ini juga termasuk kemaslahatan bangsa harus diutamakan dibanding dengan kemanfaatan secara individu bagi pelaku perkawinan diaspora. Adapun hasil penelitiannya merekomendasikan. (1) Menghasilkan integrasi yang sinergis dalam kesatuan putusan yang konstruktif antara aturan hukum di Indonesia dengan nalar mashlahah mursalah sebagai bagian dari penetapan hukum (istinbat al-hukm). (2) Menghasilkan regulasi hukum terkait perkawinan diaspora beserta implikasinya yang didasarkan atas UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan, UU Administrasi Kependudukan, UU Agraria, dan sejumlah regulasi lainnya merupakan aturan yang sudah memiliki konsensus bersama (ijma’ jama’i) untuk membangun kemaslahatan secara kolektif, tidak hanya bagi umat beragama Islam, tetapi juga bagi setiap warga negara Indonesia. (3) Menguatkan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, terutama dalam konteks perkawinan diaspora, sejatinya juga telah mengikuti aturan dan ketentuan hukum Islam itu sendiri. Sebab, peraturan yang ditetapkan pemerintah dan ketentuan hukum dalam Islam berorientasi pada satu tujuan, yakni menciptakan kemaslahatan dan kebaikan bersama.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.