Sampai sejauh ini, masih banyak orang yang salah dalam memahami tasawuf. Kesalahpahaman itu berakibat buruk bagi citra tasawuf di masyarakat. Artikel ini mencoba mengetengahkan tentang fakta bahwa tasawuf tidak seperti yang dipikirkan oleh sementara orang secara negatif. Tasawuf adalah dimensi esoterik dalam Islam. Ia lahir dari tiga pilar ke-Islam-an melalui sisi Ihsan. Bertasawuf, berarti berupaya mewujudkan al-Ihsan, “Beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya; ketika tidak bisa, maka yakin bahwa Allah melihat kita”. Sementara itu modernitas bukan hanya menunjuk pada suatu periode, melainkan juga suatu bentuk kesadaran yang terkait dengan kebaruan (Inggris: Newness), karena itu istilah perubahan, kemajuan, revolusi, pertumbuhan dan lain-lain adalah istilah-istilah kunci kesadaran modern. Melalui kesadaran spiritual, tasawuf berhasil menyelesaikan berbagai persoalan spiritual masyarakat, sedangkan modernitas mampu menyelesaikan persoalan materialnya. Kedua istilah ini (tasawuf dan modernitas), merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, saling membutuhkan dan saling melengkapi, bukannya saling bertentangan. Oleh karena itu, kesalah-pahaman itu harus segera dikikis habis di era yang terus berubah ini.

 Tariqa (Eng.: Order; Tariqa) is known as an organization that only focuses on spiritual development. That is why Tariqa adherents are often trapped in rituals, which sometimes distance them from the outlined Islamic Iman. This study aims to determine the extent to which the Tariqa can become a system of Iman formation. This research was conducted in one of the largest Tariqas in Pontianak, namely the Tariqa Haq Naqsyabandi, which is headquartered at Perum IV Pontianak City. Based on the results of the research, using a qualitative  approach with phenomenological type, it was found that: 1) The Tariqa Haq Naqsyabandi has been carrying out Iman-building since the beginning of the congregation's declaration (Bai’at) of joining this Tariqa; 2) Follow-up coaching is carried out at certain times, such as Tawajjuhan, Special Teaching, Level Ups, and Incidental Teaching

This study aims to determine the pattern of da'wah and communication used by the Al-Fityan Kubu Raya Foundation in forming students' Akhlaq al-Karimah in established character education programs, both in schools and in dormitories. The research was conducted using a descriptive approach obtained through interviews, observation, and documentation. Based on the data obtained, the da'wah pattern carried out by the Al-Fityan Foundation was bi al-lisan (warnings, calls, appeals, and words), bi al-hal (through examples of behavior directly given by educators/mentors), and bi al-arkan (through the rules). Meanwhile, the communication pattern is face-to-face through various learning models, namely: Circular, straight back, and Letter U in the character education mentoring program.

The absence of agreement among scholars regarding the halal consumption of jallālah animals necessitates an investigation of the basic text of the hadith which is used to examine the extent of the position of the hadith text so that it can be used as a basis. The purpose of the study is to trace the text of the hadith, its purification, and to describe the laws that it produces. The research method uses qualitative methods with a literature review approach. The data source is in the form of publication of hadith history which contains a prohibition on consuming Jallālah. The data analysis technique used takhrij al-ḥadith followed by sharḥ al-ḥadith. This article finds that there is a qualified history regarding the prohibition of consuming jallalah. The law contained in the prohibition is makruh

Tulisan ini merupakan upaya mengungkap tarekat Haq Naqsyabandiyah yang ada di Pontianak Timur. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif serta metode deskriptif fenomenologi, kajian ini mencoba mengungkap dan mengurai fenomena yang terjadi di masyarakat yang notabenenya sebagai masyarakat tarekat. Salah satu ajaran tarekat adalah diyakini bahwa waktu luang seseorang itu sangatlah berharga dan bernilai serta tidak boleh dibiarkan berlalu sia-sia begitu saja. Waktu luang itu mestilah digunakan untuk melantunkan zikir kepada Allah Swt. Dalam tarekat Haq Naqsyabandiyah tidak memerlukan banyak berjaga malam dan lapar. Akan tetapi hendaklah mengambil jalan tengah dalam segala perkara beserta hati yang selalu hadir mengingat Allah, baik menyendiri maupun ketika sedang berkumpul dengan orang banyak, segala sikap dan pergaulan selalu menjadi cerminan seorang yang berakhlak mulia sehingga dipandang mampu memperbaiki kondisi umat dan bangsa sekarang ini.