Berbagai kota maupun wilayah di Indonesia banyak memiliki potensi pariwisata yang menarik sehingga dikunjungi oleh turis dari berbagai macam negara. Salah satunya adalah area Ubud Bali yang memiliki banyak destinasi wisata dan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan pariwisatanya. Perkembangan yang pesat tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan kepadatan lingkungan yang tidak terkendali dan berubahnya citra Ubud sebagai kawasan alam dan pedesaan yang tenang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui citra Ubud berdasarkan kognisi spasial yang tergambar melalui peta kognisi (cognitive map) masyarakatnya. Citra Ubud tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk perkembangan area Ubud nantinya. Penelitian yang dilakukan di area Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali ini menggunakan metode penelitian pemetaan kognisi (cognitive mapping). Melalui metode ini sebelas responden diminta untuk menggambarkan sketsa peta area Ubud dengan menunjukkan lima elemen kota menurut Kevin Lynch, yaitu landmark, node, path, district, dan edge. Dari sebelas cognitive map yang tergambar, didapatkan hasil bahwa Ubud memiliki citra kawasan sebagai kawasan wisata yang masih memegang kuat budayanya. Hal ini ditunjukkan melalui perempatan Ubud dan Monkey Forest sebagai elemen spasial yang tertanam kuat dalam kognisi responden.IMAGE OF UBUD BALI BASED ON COGNITIVE MAP OF THE DWELLERS Various regions in Indonesia have many attractive tourism potentials and are visited by tourists from various countries. One of them is the area of Ubud, Bali, which has many tourist destinations and continues to grow to meet the needs of tourism. This rapidly growing tourism will raise some concerns about uncontrolled urban density and the alteration of Ubud’s image as a peaceful and natural rural area. Therefore, this research was conducted to find out the image of Ubud based on the dwellers’ spatial cognition, which is drawn through their cognitive maps. This image of Ubud is expected to be used as a consideration for the development of the Ubud area. The research was conducted in the area of Ubud, Gianyar, Bali, and used cognitive mapping as the research method. Through this method, eleven respondents were asked to sketch the maps of Ubud area by showing five city’s elements, according to Kevin Lynch. Those elements are landmark, node, path, district, and edge. From eleven cognitive maps drawn, the obtained result is that Ubud has the image of a tourist area that still holds a strong culture. This is shown through the intersection of Ubud and Monkey Forest as spatial elements that are firmly embedded in the respondents’ spatial cognition.
Surakarta merupakan kota yang memiliki nilai sejarah dan keunikan budaya lokal. Oleh karena itu prosentase kunjungan wisata ke kota tersebut relatif tinggi. Akhir-akhir ini MICE sangat dibutuhkan untuk meningkatkan perekonomian dan pariwisata, yang dapat dikembangkan di Surakarta. Pemerintah daerah Surakarta menetapkan bahwa bangunan publik sedikitnya 20% menggunakan arsitektur lokal. Pada desain yang dibuat, arsitektur lokal ditampilkan melalui fasad bangunan dengan memanfaatkan ornament daerah Jawa Tengah sebagai unsur dekorasi. Tujuan studi adalah untuk mengenali nilai kearifan lokal kota Surakarta sehingga dapat dirumuskan kriteria perancangan arsitektur MICE dan mengaplikasikannya ke dalam sebuah desain bangunan. Studi dilakukan dengan menggunakan studi pustaka dan studi konteks. Hasil akhir studi adalah sebuah alternatif rancangan komponen arsitektur MICE.
Abstrak_ Permukiman padat di tengah kota dan populasinya yang semakin meningkat merupakan suatu masalah urban yang kerap terjadi. Wilayah-wilayah tersebut menampung berbagai kalangan masyarakat, termasuk para lanjut usia (lansia) yang memilih untuk tetap tinggal atau bertahan di lingkungan tempat tinggalnya pada masa usia senja. Keterbatasan motorik yang semakin dihadapi lansia tidak mengurangi kebutuhannya untuk tetap bepergian, termasuk berjalan kaki di sekitar area permukiman. Kondisi spasial lingkungan tempat tinggal memegang peran yang sangat penting untuk mendukung mobilitas lansia di ruang luar. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi kegiatan mobilitas lansia ketika berjalan kaki di ruang luar dan memahami kebutuhan yang mendukung kegiatan tersebut. Upaya tersebut ditempuh dengan mengkaji kegiatan responden lansia selama bermobilitas, serta karakteristik jejalur dan titik kegiatan yang terakses. Penelitian ini dilakukan dengan metode person-centered mapping dan merekam 25 rute berjalan kaki oleh 19 responden lansia. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah jejalur yang diakses oleh responden lansia ketika bermobilitas di ruang luar didukung oleh faktor (1) fasilitas; (2) jarak dan letak jalur; (3) lebar jalur; dan (4) kondisi material. Penelitian ini turut merekomendasikan terbentuknya ruang terbuka di persimpangan atau tengah permukiman padat kota dengan akses yang mudah dan fasilitas yang beragam untuk mendukung kegiatan bermobilitas lansia di ruang luar. Kata kunci: Lansia; Berjalan kaki; Permukiman padat kota; Jalur; Ruang terbuka di persimpangan Abstract_Densely populated settlement in the middle of the city and its increasing population are urban problems that often occur. These areas accommodate various groups of people, including the elderlies, choosing to stay permanently in the neighborhood for relishing old age life. Physical limitations faced by the elderlies do not reduce the need to keep going out, including walking around the settlement. Spatial conditions in the neighborhood play a very important role in supporting the mobility of the elderlies in outdoor spaces. Therefore, this study seeks to explore the elderlies’ mobility activities when walking in outdoor spaces and understand the needs that support these activities. These efforts were taken by examining the occurring activities during the mobility, and the characteristics of the accessed streets and activity nodes. The research was conducted using the person-centered mapping method and recorded 25 walking routes by 19 elderlies. The result obtained from this study is the streets accessed by the elderlies are supported by (1) facilities; (2) distance and location; (3) width; and (4) material condition. This study also recommends the establishment of an accessible junction open space with various facilities in the middle of dense urban settlements to support the elderlies’ mobility. Keywords: Elderly; Walking; Densely populated settlement; Street; Junction open space.
Latar belakang: Desa Ngroto merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Desa ini memiliki dua potensi besar yang masih perlu dikembangkan lagi. Potensinya ialah terdapat beberapa home industry olahan tempe (berupa keripik tempe dan tempe buntel). Dari kondisi ini penulis berinisiatif membentuk gerakan masyarakat untuk pengembangan produk desa melalui branding produk. Metode: metode yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan yaitu pertemuan dengan warga setempat, pengembangan sentra industri olahan tempe, evaluasi. Hasil: Kegiatan ini dilakukan secara bertahap yaitu: pertama, sosialisai dilakukan kepada pemilik home indutry supaya mereka mengerti dan mampu melaksankan hygiene dan sanitasi dalam kegiatan produksi. Kedua, sosialisasi inovasi produk bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang inovasi, diharapkan nantinya akan menjadi produk yang lebih bervariasi, serta ketiga, pelatihan untuk pembuatan konsep desain merk, Kesimpulan: Adanya peningkatan kesadaran masyarakat akan potensi yang ada di Desa. Wawasan dan motivasi produsen juga meningkat dalam mengemas serta menginovasikan produk mereka masing-masing.
A correctional facility has been considered critical not only in accommodating prisoners but also facilitating vocational training that prepares the prisoners to reintegrate in society and thus would not recommit crimes. However, in reality the building of many correctional facilities are not prepared for this function. This is apparent in the correctional facility for women in Yogyakarta. The facility does not have its official building and is located in the men’s correctional facility. Those conditions impact the spatial limitations, including space to conduct the skills development program. This study aims to examine the spatial utilization for the skills development program in Yogyakarta prison for women by analyzing the relationship between the physical settings and the occurring activities there. By conducting place-centered mapping, questionnaire survey, and interview for data collection, this study showed that prisoners tend to seek to carry the vocational work in comfortable areas provided with better air condition that are not prepared for the training. This finding raises a concern about how a correctional facility should have adequate space that encourages social solidarity and provides enough spatial autonomy for the skills development program.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.