Kumpulan foraminifera dari sedimen Sumur STA 3 (0.8897°N, 119.0865°E, kedalaman laut 1294 m) di Laut Sulawesi diteliti untuk memahami ciri lingkungan purba pada lokasi sumur. Situasi modern menunjukkan Laut Sulawesi menjadi jalur Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang mentransport masa air dari Samudra Pasifik hingga Samudra Hindia. Studi ini difokuskan pada indeks ekologi untuk membuat struktur komunitas foraminifera dan mengeavaluasi dinamika komunitas foraminifera yang terekam di inti Sumur STA 3. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah observasi naturalistik meliputi preparasi sampel, kumpulan foraminifera (penjentikan dan identifikasi), dan analisis data. Analisis data kumpulan foraminifera menggunakan Paleontological Statistics (PAST) dari kelimpahan, keanekaragaman spesies Shannon-Winner (H’), indeks dominan (D), dan indeks kemerataan Pileou (J’). Analisis kluster dilakukan untuk menentukan kelompok sampel dikelompokkan berdasarkan kesamaan kumpulan foraminifera. Identifikasi foraminifera pada inti sedimen STA 3 terdiri dari 44 spesies foraminifera plankton dan 100 spesies foraminifera bentik. Indeks ekologi dari kumpulan foraminifera memperlihatkan keanekaragaman spesies berkisar antara 2.57 hingga 3.07, kisaran nilai dominan antara 0.07 hingga 0.13, dan indeks kemerataan berkisar antara 0.72 hingga 0.8. Analisis kluster memperoleh 3 kelompok lingkungan berdasarkan komposisi spesies mengindikasikan perubahan lingkungan yang tidak signifikan di sepanjang inti sedimen. Kumpulan foraminifera pada inti sedimen STA 3 mencerminkan karakteristik masa air hangat, kondisi oksigen rendah, dan asupan organik tinggi.Kata Kunci: Foraminifera, Struktur komunitas, analisis statistik, massa air, Laut Sulawesi. Foraminifera assemblages of marine sediment core STA 3 (0.8897°N, 119.0865°E, depth of 294 m) in Sulawesi Sea was investigated to understand paleoenvironment feature in this core site. Modern situation shows that Sulawesi Sea provides a pathway for Indonesian Throughflow (ITF) which transports watermasses from Pacific to Indian Ocean. This study focused on the ecological indices to establish community structure of foraminifera and to evaluate community dynamic as recorded in core STA 3. Method used in this study was naturalistic observation consisting of sample preparation, foraminiferal assemblage (picking and identification), and data analysis. Data analysis of foraminifera assemblages was applied using Paleontological Statistics (PAST) of relative abundance, species diversity of Shannon-Wiener (H’), dominance indices (D), and Pileou evennes indices (J’). Cluster analysis was performed to determine how samples group based on the similarity of foraminiferal assemblages. Foraminifera identification in core STA 3 contains 44 species of planktonic foraminifera and 100 species of benthic foraminifera. Ecological indices of foraminiferal assemblages show species diversity of foraminiferal assemblages with a range value between 2.57 and 3.07, range of dominance values from 0.07 to 0.13, and evennes values fluctuate from 0.72 to 0.8. Cluster analysis reveals 3 clusters environment based on species composition which indicate no significant environmental changes in the entire core record. Foraminiferal asemblages in core STA 3 reflect watermass characteristics with warm water column, low bottom-water oxygenation, and high organic influx conditions. Keywords: Foraminifera, community structure, statistical analysis, watermass, Sulawesi Sea.
Kepulauan Seribu is a well-known destination of marine tourism in Indonesia. Inevitably, the place has been affected by human activities. Hence it is important to preserve and conserve the area so as it is still suitable for reef community to grow and develop. One of the methods to evaluate the feasibility for reef environment is calculated by FoRAM Index (FI) values. Benthic foraminifera as a tool for environmental bioindicators were collected from 15 marine surface sediment samples in the vicinity areas of Kotok Besar, Kotok Kecil and Karang Bongkok islands in Kepulauan Seribu to assess the FI values. Approximately 20 genera of benthic foraminifera were found in the study area. The genera are dominated by Amphistegina and Calcarina along with Operculina, Quinqueloculina, Peneroplis, and Discorbis. The finding signifies reef flat environment as the dominant morphology, although the presence of fore slope is also observed particularly at the western part of Kotok Besar island. The assemblages of Operculina and Quinqueloculina suggest that the abundance of benthic foraminifera is influenced not only by the morphology of seafloor, but also by tidal current and terrestrial influence. The FI formula using foraminifers found in the study area results values above 4, thus the area can be reviewed as a decent environment for reef growth and development. Keywords: benthic foraminifera; bioindicator; FoRAM Index; coral community; seafloor morphology Kepulauan Seribu terkenal sebagai tujuan wisata laut di Indonesia, sehingga dapat dipastikan tempat ini dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Oleh sebab itu sangat penting untuk menjaga dan melindungi kelestarian lingkungannya sehingga tetap cocok bagi komunitas karang untuk hidup dan berkembang. Salah satu metode untuk mengevaluasi kelayakan lingkungan terumbu adalah dengan menghitung nilai FoRAM Index (FI). Untuk analisis ini, foraminifera bentik dikoleksi dari 15 sampel sedimen permukaan laut dari daerah sekitar Pulau Kotok Besar, Kotok Kecil dan Pulau Karang Bongkok di Kepulauan Seribu. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 20 genera foraminifera bentik yang ditemukan di daerah penelitian. Foraminifera didominasi oleh Amphistegina dan Calcarina, sedangkan jenis lain yang juga cukup berlimpah adalah Operculina, Quinqueloculina, Peneroplis, dan Discorbis. Hal ini menunjukkan lokasi penelitian memiliki jenis morfologi rataan karang sebagai morfologi dominan, walaupun kehadiran lereng karang (fore slope) juga teramati terutama pada bagian barat pulau Kotok Besar. Distribusi kelimpahan Operculina dan Quinqueloculina menunjukkan bahwa kelimpahan foraminifera bentik selain dipengaruhi oleh morfologi dasar laut juga dipengaruhi oleh pasang surut dan pengaruh terestrial. Hasil perhitungan FI berdasarkan foraminifera di wilayah penelitian menunjukkan nilai FI > 4 sehingga daerah ini dapat ditinjau sebagai lingkungan yang layak untuk pertumbuhan karang dan perkembangannya. Kata kunci: foraminifera bentik; bioindikator; FoRAM Index; komunitas koral; morfologi dasar laut
Study of elemental composition in sediment has been proven useful in interpreting the depositional environmental changes. Multi Sensor Core Logger (MSCL) is a non-destructive analysis that measures several parameters in sediment core including magnetic susceptibility and elemental composition. Magnetic susceptibility and elemental analysis were measured in four selected marine sediment cores from western part of Bangka Strait (MBB-67. MBB-119, MBB-120 and MBB-173) by using magnetic susceptibility and X-ray Fluorescence (XRF) sensors attached to the MSCL. The data was collected within 2 cm interval. Scatter plots of Y/Zr and Zr/Ti show singular trend demonstrated by sediments from MBB-173 and two groups that composed of MBB-67 (Group 1) and MBB-119 + MBB-120 (Group 2). MBB-67 that is located adjacent to Klabat Granite shows upward changes in mineralogy, slight increase of grain size and negligible change in Y concentration. Cores MBB-119 and MBB-120 are inferred to be deposited during regression that resulted in the accummulation of Y-bearing zircon in MBB-119 before the mineral could reach MBB-120. Core MBB-173 is interpreted to be the product of plagioclase weathering that is submerged by rising sea level. This core contains a horizon of rich Y-bearing zircon at 60 cm.Keywords: Multi Sensor Core Logger, X-Ray Fluorescence, magnetic susceptibility, depositional environment, Bangka Island Studi tentang komposisi unsur kimia dalam sedimen telah terbukti bermanfaat dalam interpretasi perubahan lingkungan pengendapan. Multi Sensor Core Logger (MSCL) adalah sebuah analisis yang non-destructive, untuk mengukur beberapa parameter dalam bor sedimen termasuk suseptibilitas magnetik dan kandungan unsur. Suseptibilitas magnetik dan kandungan unsur diukur dari 4 bor sedimen laut yang terpilih di bagian barat Selat Bangka (MBB-67. MBB-119, MBB-120 and MBB-173) dengan menggunakan sensor suseptibilitas magnetik (MS) dan X-ray Fluorescence (XRF) yang terpasang pada MSCL. Pengukuran dilaksanakan dengan interval 2 cm. Plot Y/Zr dan Zr/Ti menunjukkan satu trend yang diperlihatkan oleh sedimen bor MBB-173 dan dua grup yang terdiri atas MBB-67 (Grup 1) dan MBB-119 + MBB-120 (Grup 2). Bor MBB-173 ditafsirkan sebagai hasil pelapukan plagioklas yang kemudian terendam air laut. Bor ini memperlihatkan horizon yang kaya akan zirkon pembawa yttrium pada kedalaman 60 cm.Kata kunci : Multi Sensor Core Logger, X-Ray Fluorescence, suseptibilitas magnetik, lingkungan pengendapan, Pulau Bangka
Latar belakang pengetahuan tentang tekstur sedimen merupakan isu utama dalam penelitian lingkungan laut. Sedimen pada lingkungan pesisir akan mengalami proses pengikisan, transportasi serta pengendapan dalam skala spasial maupun temporal. Daerah penelitian secara geografis terletak pada koordinat 0° 46' - 0° 50' Lintang Utara dan 104° 28' 30" - 104° 37' 30" Bujur Timur, merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Metode penelitian yang dilakukan adalah pengambilan data posisi, pengukuran kedalaman dasar laut pengambilan percontoh sedimen dasar laut, analisis besar butir dan penamaan tekstur sedimen. Total lintasan survey batimetri sejumlah 504 kiloline dengan arah lintasan utama timurlaut-baratdaya dan arah crossline baratlaut-tenggara. Berdasarkan hasil pengukuran dasar laut yang digambarkan pada peta kedalaman dasar laut (batimetri) di daerah penelitian, kedalamannya berkisar antara 2 - 40 meter. Pengambilan percontoh sedimen dilakukan pada 93 percontoh laut dengan menggunakan pemercontohan comot (SB) sebanyak 75 lokasi, sedangkan dengan penginti gaya berat (SC) sebanyak 18 lokasi, 5 jenis sedimen berdasarkan persentase ukuran butir sedimen yaitu kerikil, kerikil pasiran, pasir kerikilan, pasir sedikit kerikilan, dan pasir. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keberadaan dan proses pengendapan yang terjadi pada sedimen pasir laut serta hubungannya dengan tekstur sedimen di Perairan Bintan.
Foraminifera telah banyak digunakan sebagai indikator kualitas perairan sekitar terumbu karang di Indonesia berdasarkan perbandingan kelompok foraminifera bentonik tertentu. Studi tersebut diterapkan di sekitar Pulau Tegal, Teluk Lampung yang merupakan salah satu destinasi wisata yang secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap ekosistem terumbu karang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas foraminifera bentonik kaitannya dengan kondisi perairan terumbu karang Pulau Tegal, Teluk Lampung. Penelitian ini dilakukan pada 16 stasiun penelitian di Pulau Tegal yang mewakili semua sisi pulau dengan variasi kedalaman dari 0 meter hingga 28 meter. Hasil dari penelitian ini ditemukan 6.918 spesimen foraminifera bentonik dengan keanekaragaman yang tergolong rendah. Genera Amphistegina dan Elphidium ditemukan sangat melimpah pada hampir seluruh stasiun. Nilai Indeks FORAM (FI) diatas 4 ditemukan pada 11 stasiun penelitian yang mengindikasikan bahwa sebagian besar perairan Pulau Tegal berada dalam kondisi yang sangat baik dan kondusif untuk pertumbuhan serta pemulihan terumbu karang. Hasil ini sejalan dengan melimpahnya kehadiran kelompok foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang pada perairan Pulau Tegal.Kata Kunci: Bioindikator, Pulau Tegal, Indeks FORAM, Terumbu Karang, Komunitas.Foraminifera has been widely used as an indicator of the quality of the waters around coral reefs in Indonesia based on the comparison of certain groups of benthonic foraminifera. The study was implemented around Tegal Island, Lampung Bay, which is one of the tourist destinations that influence the coral reef ecosystem. This study aims to determine the structure of bentonic foraminifera communities related to the condition of the coral reef waters of Tegal Island, Lampung Bay. This research was conducted at 16 research stations in Tegal Island representing all sides of the island with variations in depth from 0 m to 28 m water depth. The results of this study found 6.918 specimens of bentonic foraminifera with relatively low diversity. The genera Amphistegina and Elphidium were found to be very abundant in almost all stations. The FORAM Index (FI) above 4 was found in 11 research stations which indicated that most of the waters of Tegal Island were in very good conditions and conducive to the growth and recovery of coral reefs. This result is in line with the abundance of the presence of foraminifera groups associated with coral reefs in the waters of Tegal Island. Keywords: Bioindicator, Tegal Island, FORAM Index, Coral Reef, Community
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.