Papaya is a fruit that is often consumed in Indonesia and has increased consumption from 2015-2016 based on SUSENAS 2016. Papaya has high water content (85-90%) and the pH is near neutral. This makes papaya vulnerable and suitable medium for the growth of pathogenic microbes. The presence of pathogenic microbes in papaya can cause health problems for those who consumed them. Objectives this study was to observe the microbial content of sliced papaya in the Universitas Sumatera Utara. Method this research was carried out by conducting laboratory tests and the results obtained in the form of a description of microbial content in papaya cut samples. The content of coliform microbes in sliced papaya was tested using the Most Probable Number (MPN) method and biochemical identification. Papaya samples were selected using total sampling method from the University of Sumatera Utara. Results A total of 14 sliced papaya samples were analysed in this study. By using the MPN test it was found that all papaya samples had a microbial threshold exceeding those determined by SNI 7388: 2009 which is below <20 / g. A total of 9 papaya samples (64.28%) contained Klebsiella sp. bacteria, 5 samples (35.72%) contained E.coli bacteria. Conclusions Bacteria found in this study were Escherichia coli and Klebsiella sp. The presence of microbial content in the sliced papaya sample that exceeds the threshold must be a concern of various parties in the surveillance of snacks being sold.
Stigma kepada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) tergambar dalam sikap sinis, perasaan akan ketakutan yang berlebihan serta pengalaman negatif terhadap ODHA. Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan di berbagai bidang kegiatan masyarakat seperti dunia pendidikan, kerja dan layanan kesehatan merupakan bentuk stigma yang sering terjadi. 1 Diskriminasi adalah bentuk pembatasan ekspresi ataupun pencegahan seseorang terhadap suatu akses pelayanan. ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) seringkali dijadikan sebagai sasaran diskriminasi di masyarakat. Bahkan tidak jarang mereka mengalami pengucilan oleh masyarakat sekitar. Baru baru ini 14 murid SD yang mengidap HIV di Solo dikecam oleh orangtua siswa lainnya agar dikeluarkan dari sekolah mereka dikarenakan orangtua siswa lainnya takut anak-anak mereka tertular HIV.2 Hal yang serupa terjadi pada 3 anak pengidap HIV di Samosir, mereka terancam diusir dari sekolah bahkan masyarakat mengultimatum agar ketiganya diusir dari Kabupaten Samosir. Alasan yang sama dilontarkan oleh masyarakat setempat yang takut bila anak-anak mereka tertular HIV dari ketiga anak tersebut.3 Tidak hanya didalam negeri, berbagai diskriminasi juga diterima oleh penderitanya diluar negeri. “Putriku menolak pergi kerumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. Putriku meninggal karena takut akan stigma dan diskriminasi yang dicap oleh masyarakat”. Kalimat tersebut diucapkan oleh seorang nenek dari Ghana yang kehilangan putrinya yang juga merupakan ODHA.4 Penelitian Maharani (2014) yang bertujuan untuk mengetahui informasi tentang stigma dan diskriminasi terhadap ODHA pada pelayanan kesehatan di Kota Pekanbaru bahwa diskriminasi dalam bentuk dilecehkan secara lisan dengan mengatakan penyakit HIV dengan nada lantang, pemberian makan dibawah pintu, seprai tidak diganti-ganti dan sebagainya. Meskipun telah mendapat pelatihan, masih ada petugas kesehatan yang merasa cemas ketika berhadpaan pasien ODHA terutama di ruang rawat inap. Berikut penuturannya: “Yaaa pada saat menangani pasien HIV/AIDS perasaan cemas pasti adalah., karena kita tidak tau pori-pori tangan kita terluka.. tubuh kita terluka, sandal kita, mungkin pada saat operasi kejatuhan cairan darah, ketuban pada saat section itu biasanya muncrat.. tetap kita ada cemas dalam menanganinya” Penuturan lainnya diungkap oleh ODHA yang berkunjung ke dokter gigi. Berikut penuturannya: “Waktu saya pergi ke dokter gigi, jadi pas saya duduk dikursi pelayanannya,, ibuk itu kan pegang status RM saya,, tanpa sengaja dia liat kode nomornya saya,, langsung berubah ekspresinya terkejut melihat kode itu, (saya liat sendiri ekspresinya berubah), dokter itu tiba-tiba menoleh kekamar belakang membilang ke perawatnya, “heeehh kok nggak bilang itu pasien HIV (dengan suara agak berisik), kemudian dokter itu balik lagi ,, dia pake sarung tangan , masker, kacamata, disuruhnya saya membuka mulut.. kemudian diliatnya.., Oh ini nggak pa pa.. (padahal waktu itu gigi saya berlobang,, jadi niat mau dicabut biar ga sakit lagi),, tapi nadanya ketus seperti mau marah marah,, padahal awalnya ramah aja, bilang gini “liat giginya,, hhmmm nggak pa pa ini,,, Tapi kan buk saya dirujuk tadi disini suruh cabut buk,”siapa bilang,”Nggak pa pa kok”, Kan saya yang dokter gigi, bukan mereka… yaa sudah sana keluar”5 Berbagai stigma dan diskriminasi yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis menuangkan informasi yang didapat ke dalam artikel ini, penulis berharap akan membuka wawasan dan merasakan penderitaan para ODHA sehingga bisa meningkatkan rasa empati kita mengenai HIV/AIDS sehingga stigma dan diskriminasi terhadap ODHA bisa dihentikan.
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) was first known in 1981 in homosexual groups who had opportunistic infections and malignancies. In Indonesia the first AIDS case was reported in 1987 to a Dutch citizen living in the province of Bali. Cases of HIV infection in Indonesia are reported to increase every year and most occur at the age of 25-49 years. HIV transmission is not easily transmitted, even when an HIV-infected person takes antiretroviral drugs can reduce the risk of transmission by up to 96%. But one of the biggest challenges in managing HIV infection is facing stigma and discrimination. As many as 1 in 5 people living with HIV are afraid to come to the clinic because they will experience discrimination and stigma from the community if this condition occurs will cause treatment delay until PLWHA (People living with HIV/AIDS) will fall to the AIDS stage and PLWHA will be susceptible to opportunistic infections. A clinic in Namibia, when stigma and discrimination were successfully overcome, there was a 20% reduction in mortality in PLWHA
Background: One of the biggest challenges in the world of health is the problem of smoking. In 2018, there was an increase in smokers at the age of 10-18 years by 9.1% compared to 2013, which was 7.2%. It is feared that the increasing number of smokers at a young age will increase the number of non-communicable diseases (NCD) at a young age. Methods: Writing this article uses the method of literature searching from various sources of information including e-books, websites and search engines. The e-books used contain cigarette information and its effects on health, the websites used are the website of the government and WHO to search for prevalence data and other information, and the search engines used are Google Scholar and Pubmed to search information on cigarette content research and its effects on health. Discussion: The content of cigarettes can cause various side effects in almost all organs of the body. Various studies have found that smoking is a risk factor for NCD. Conclusion: Cessation of smoking can save sufferers and also save people around smokers. When a smoker starts quitting smoking, the body will undergo the process of cleaning up toxic substances of cigarettes that have entered the body. Keywords: cigarette, literature searching, NCD Latar Belakang: Salah satu tantangan terbesar dalam dunia kesehatan ialah masalah rokok. Pada tahun 2018, terjadi peningkatan perokok pada usia 10-18 tahun sebesar 9,1% dibandingkan pada tahun 2013 sebesar 7,2%. Peningkatan jumlah perokok di usia muda ini dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah Penyakit Tidak Menular (PTM) di usia muda. Metode: Penulisan artikel ini menggunakan metode pencarian literatur dari berbagai sumber informasi berupa e-book, website dan search engine. E-book yang dipakai memuat informasi rokok dan pengaruhnya kekesehatan, website yang dipakai adalah website pemerintah dan WHO untuk pencarian data prevalensi dan informasi lainnya, dan search engine yang dipakai adalah Google Scholar dan Pubmed untuk pencarian informasi penelitian kandungan rokok dan pengaruhnya kepada kesehatan. Pembahasan: Dari hasil pencarian, kandungan pada rokok dapat menimbulkan berbagai efek samping hampir di seluruh organ tubuh. Berbagai penelitian mendapatkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor risiko terjadinya PTM. Kesimpulan: Penghentian kebiasaan merokok ini dapat menyelamatkan penderitanya dan juga menyelamatkan orang di sekitar perokok. Ketika seorang perokok mulai berhenti untuk merokok, maka tubuh akan melakukan proses pembersihan dari zat racun pada rokok yang sudah masuk ke dalam tubuh. Kata kunci: rokok, PTM, pencarian literatur
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.