<p class="IABSTRAK"><strong>Abstract: </strong>Subjective well-being is people’s evaluation of they life. It includes evaluation about cognitive and affective. People have higher subjective well-being, they have a more positive affective or good feelings and satisfied with the life they have. Contrary, people who have lower subjective well-being tend to overcome negative feelings in him. Therefore, subjective well-being is very important in the life of every individual is no exception to the new students. There are many factors that influence the subjective well-being such as sex, religion, education, intelligence emotion regulation and self efficacy. This study focused on the influence of self efficacy and regulasi emosi toward subjective well-being. This study aims to look at the effects of self-efficacy and emotion regulation towards students’s subjective well-being. The study involved 107 new students majoring in engineering architecture that consists of 51 men and 56 women This study uses a quantitative approach which is measured using four scales that is Possitive and Negative Affect Schedule (PANAS) and Satisfaction with Life Scale (SWLS), General Self efficacy (GSE), and Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) to measure emotion regulation. The results show that there is the influence of self-efficacy and emotion regulation on subjective well-being. Simultanously, self-efficacy and regulation of emotions influence subjective well-being of 32.5% to the subjective well-being. But partialy, self efficacy more has contribute to subjective well-being, than emotion regulation.</p><div class="Section1"><p class="IABSTRAK"><strong>Abstrak:</strong> <em>Subjective well-being</em> merupakan evaluasi individu terhadap kehidupannya yang meliputi penilaian kognitif dan afeksi. Individu dikatakan memiliki <em>subjective well-being</em> tinggi jika mengalami lebih banyak afeksi positif atau perasaan menyenangkan dan puas atas kehidupan yang dimiliki. Sebaliknya, orang yang memiliki <em>subjective well-being</em> rendah cenderung diliputi perasaan-perasaan negatif dalam dirinya. Oleh sebab itu, <em>subjective well-being</em> sangat penting dalam kehidupan setiap individu tidak terkecuali pada mahasiswa baru. Ada banyak faktor yang mempengaruhi <em>subjective well-being</em> antara lain jenis kelamin, religiusitas, pendidikan, kecerdasan, regulasi emosi dan <em>self efficacy</em>. Penelitian ini memfocuskan tentang pengaruh efikasi diri dan regulasi emosi terhadap <em>subjective well-being. </em>Penelitian ini melibatkan 107 orang mahasiswa baru jurusan teknik arsitektur yang terdiri dari 51 orang laki-laki dan 56 orang perempuan Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang diukur menggunakan empat skala yaitu <em>Possitive and Negative Affect Schedule</em> (PANAS), <em>Satisfaction with Life Scale</em> (SWLS), General <em>Self efficacy</em> (GSE) dan <em>Emotion Regulation Questionnaire</em> (ERQ). Analisis yang dilakukan adalah analisis deskripsi dan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh <em>self efficacy</em> dan regulasi emosi terhadap <em>subjective well-being</em>. Secara bersama-sama, <em>self efficacy</em> dan regulasi emosi mempengaruhi <em>subjective well-being</em> sebesar 32,5%terhadap <em>subjective well-being</em>. Secara terpisah, <em>self efficacy</em> memberikan sumbangan sebanyak 21,62% dan regulasi emosi sebanyak 3,53% terhadap <em>subjective well-being</em>.</p></div>
Pergantian kurikulum di tengah masa studi mengharuskan para taruna angkatan X beradaptasi dengan situasi pendidikan yang berbeda, kegiatan lebih padat dan menekan. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan psikologis salah satunya rendahnya psychological well-being. Padahal psychological well-being penting dimiliki para taruna untuk mengoptimalisasikan potensinya dalam menempuh pendidikan militer. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan psychological well-being para taruna adalah memberikan pelatihan resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Pelatihan resiliensi pada penelitian ini menggunakan mastery resiliency training (MRT) yang khusus diberikan pada anggota militer. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh MRT dalam meningkatkan psychological well-being taruna yang menjalani pendidikan militer. Partisipan penelitian yaitu para taruna angkatan X yang berjumlah 30 orang. Desain penelitian yang dipilih adalah one-group pretest-posttest design. Variabel psychological well-being diukur menggunakan The Ryff Scale of Psychological Well-being dan dianalisis dengan metode kuantitatif uji beda dan uji regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan resiliensi atau MRT mampu meningkatkan psychological well-being para taruna angkatan X.
Saat memasuki masa pensiun, Tentara Nasional Indonesia akan menghadapi berbagai perubahan, misalnya dalam hal keuangan, status, aktivitas, dan lain-lain. Perubahan tersebut membutuhkan kemampuan untuk penyesuaian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara optimisme dengan resiliensi pada pensiunan TNI-AL. Subjek pada penelitian ini adalah pensiunan TNI-AL (30 partisipan). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan tipe non probability sampling: purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala resiliensi (Resilience Scale), dan Life Orientation Test-Revised (LOT-R). Hasil uji hipotesis pada penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara optimisme dengan resiliensi pada pensiunan TNI-AL (p = 0,001; r = 0,563). Semakin tinggi optimisme seorang pensiunan, maka semakin tinggi pula resiliensi individu tersebut, dan begitu pula sebaliknya. Jadi saat individu memiliki tujuan dan yakin bahwa hal yang akan terjadi di masa depan adalah hal yang baik, akan membuat individu tersebut memiliki kapasitas kemampuan beradaptasi (resiliensi) yang baik.
Crime as premeditated murder is one of the main problems in Indonesia. The prevalence of murder cases tends to increase. Personality characteristics that play a role in the case of premeditated murder are unique. Prison convicts have varied and unique personality compared to people in general. A test uses to find out the personality traits that were needed to administer. Thus, the diagnosis and application of intervention were preciseness. The measuring instrument employed in this study was the Minnesota Multiphasic Personality Inventory-2 (MMPI-2). This study aims to determine the psychopathological indications of convicted murder cases in MMPI-2. The sampling technique used purposive sampling with one participant planning murder who was serving a prison sentence of 20 years. The result is participants had a psychopathological predisposition to schizophrenia (84 = very high), paranoia (83 = very high), and hypomania (81 = very high). A prisoner with this kind of psychopathological predisposition tended to feel insecure, lonely, anxious, and depressed but sometimes also felt happy or have excessive energy. The participant also avoided social relations and did not want to involve emotions deeply. The results of MMPI-2 showed that the characteristics of schizophrenia, paranoid, hypomania might encourage someone to commit sadistic behavior such as serial killings
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.