This article analyzes the history of Coffee Plantations in Gayo Highland Takengon at the time of the Dutch Colonialism era from 1904 to 1942. This historical research aimed to reveal the social and economic background, history, and the labors' condition of Gayo Highland Takengon Coffee Plantations. The historical method, which consisted of five analytical stages, was used as the method to reconstruct the history of the coffee plantations in Gayo. The findings of the research show that the geographical factors supported Gayo Highland Takengon as the area of the coffee plantation. Coffee was firstly developed at Gayo Highland by Veenhuyzen in 1908. From 1908 to 1918, coffee was a non-commercial commodity and produced on a small scale. In 1918, after the establishment of Wilhelmina Blang Gele Coffee Plantation and other plantations managed by both private and state companies, coffee increasingly became a commercial commodity. Private and state-owned companies started to employ Javanese laborers or popularly known as Jawa Kontrak and Jawa Kolonisasi. The laborers were brought in gradually from Java and bounded by the Labor System based on the Staatsblad 1911 and Staatsblad 1915. Based on these findings, it can be concluded that the geographical factors and the spirit of capitalism had driven the Dutch private and state companies to develop coffee plantations in Gayo Highland by employing the Javanese contract laborers.Tulisan ini merupakan kajian tentang analisis historis perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo Takengon pada era kolonial Belanda (1904-1942). Tujuannya tidak lain untuk mengetahui faktor dibukanya perkebunan, sejarah perkebunan pertama dan buruh yang berkerja pada perkebunan kopi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah dengan menggunakan lima tahapan. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa secara geografis Dataran Tinggi Gayo cocok dijadikan sebagai kawasan perkebunan kopi, hal tersebut telah mendorong adanya penerapan kapitalisme Barat. Tanaman kopi untuk pertama kalinya dikembangkan di Dataran Tinggi Gayo pada tahun 1908, pelopor pertamamnya seorang Belanda bernama Veenhuyzen. Tanaman kopi tersebut awalnya hanya sebagai tanaman non komersial dengan jumlah terbatas, namun sejak tahun 1918 dengan dibukanya perkebunan kopi Wilhelmina Blang Gele, tanaman kopi menjadi tanaman komersial baik yang dikelola oleh Belanda maupun swasta. Buruh yang diperkerjakan pada perkebunan baik Belanda maupun swasta merupakan buruh kontak orang-orang Jawa yang disebut sebagai Jawa Kontrak dan Jawa Kolonisasi. Para buruh tersebut didatangkan dari Pulau Jawa secara bergelombang dan terikat dengan sistem kontak yang mengacu pada staatsblad tahun 1911 dan staatsblad tahun 1915.
Latar belakang masalah dalam penelitian ini ialah karena lemahnya keaktifan belajar siswa pada mata pelajaran sejarah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan strategi pembelajaran aktif tipe Peer lesson terhadap keaktifan belajar sejarah siswa kelas XI SMA Negeri 10 Aceh Barat Daya dan mengetahui respon siswa terhadap penggunaan strategi tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan jenis penelitian eksperimen dengan desain one shoot case study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 10 Aceh Barat Daya yang berjumlah 105 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Sampelnya adalah kelas XI IPS 2 yang terdiri dari 25 siswa. Teknik pengumpulan yang digunakan yaitu observasi, Angket dan Tes soal. Sedangkan teknik analisis data adalah analisis data Statistika Deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa penggunaan strategi pembelajaran aktif tipe Peer lesson efektif meningkatkan keaktifan belajar sejarah siswa. Hal ini diketahui melalui data dari lembar observasi yang berada pada kecenderungan 83 60 + 1. 33 73,3 yang masuk kedalam kategori sangat tinggi. Berdasarkan nilai yang didapat dari Tes soal, sebanyak 11 siswa mampu mencapai nilai kriteria ketuntasan (KKM) sebesar 75 dan nilai ketuntasan klasikal sebesar 84. Respon siswa berada pada kategori yang baik, ada lebih banyak siswa yang menjawab pilihan “Sangat Setuju” dan “Setuju”dan memiliki jumlah nilai yang lebih besar dari pilihan yang lain.
Kerawang Gayo merupakan salah satu hasil kebudayaan dari masyarakat Gayo. Secara umum, masyarakat Gayo khususnya dan Aceh umumnya menyebut kerawang Gayo sebagai kain tradisional khas suku Gayo. Kerawang Gayo sendiri hadir di tengah-tengah masyarakat Gayo untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Motif dan warnanya memiliki makna tersendiri dan menjadi falsafah hidup masyarakat. Kerawang Gayo hadir dengan sejarah yang panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan budaya lokal kerawang Gayo, nilai-nilai karakter yang terkandung pada setiap motifnya, dan bagaimana bisa kerawang Gayo menjadi identitas bangsa. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi etnografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerawang Gayo merupakan budaya asli masyarakat Gayo, kerawang Gayo telah tumbuh dan berkembang sejak ribuan tahun lalu dalam ruang lingkup masyarakat Gayo. Awalnya, kerawang Gayo hanyalah sebutan terhadap motif-motif yang terdapat pada benda-benda kebudayaan masyarakat Gayo, seperti pada gerabah, anyaman, dan ukiran kayu pada rumah-rumah tradisional. Namun sejak masyarakat Gayo mengenal tekstil dan seni menyulam, motif kerawang Gayo lebih identik disebut sebagai kain sulam tradisional. Dari motifnya, kerawang Gayo secara keseluruhan sangat syarat akan nilai-nilai dan sejalan dengan 18 nilai karakter yang terdapat pada kurikulum 2013. Kerawang Gayo disebut sebagai identitas bangsa, karena sesuai dengan maksud national culture yaitu budaya yang mementingkan unsur-unsur kerohanian, perasaan, dan saling membantu, karena nilai-nilainya terus berkembang. Tahun 2014 kerawang Gayo telah ditetapkan sebagai intangible culture atau Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
The events of the Gayo-Alas War that occurred between the Gayo-Alas people against the Dutch colonial marked the end of the Aceh War. This bloody conflict also marked the Gayo Plateau region, especially Takengon, which was occupied by the Dutch colonial authorities. Since then, Takengon, which was originally just an inland region of Aceh, has begun to grow, especially its infrastructure. Therefore, this study aims to examine the infrastructure that was built in the colonial era (1904-1942). The method used in this study is the historical method, which consisted of five analytical stages, namely topic selection, heuristics, leverage, interpretation, and historiography. The results of the study show that since the Dutch colonial came to the Gayo Takengon Plateau in 1904, Takengon was more developed comparing to previous period, all of which was inseparable from infrastructure development by the Dutch colonial. Some of the infrastructures were built successfully, there were the main road between Bireuen and Takengon, central government, Dutch and Tionghoa society, market, and Dutch school. The development of infrastructure also has had an impact for Takengon's area, such as the new society along Bireuen-Takengon highway, and the construction of Takengon-Gayo Lues' road. In addition, the opening of the road was aimed at opening the Dutch plantations and the private sector has made the emergence of the society's settlements, like in Redelong, Pondok Baru (Janarata), Lampahan and Isaq.
This research traces the origin of traditional fracture treatment, and identifies the values of local wisdom, especially in traditional healing process performed by the tabib family and to describe how the traditional healing system is developed from ancient times to the present. This study used a qualitative approach and historical methods through topic selection, heuristics or collecting sources, verification or source criticism, and sources and historiography interpretation. Based on the research that has been conducted, the following results were obtained: (1) Fracture treatment has been performed since 1950 in Aceh, especially among the tabib family coming from South Aceh through the inheritance of knowledge from generation to generation; (2) The regeneration process was performed in the healer family, in this case the father inherited from his children or grandparents to his grandchildren to study this knowledge, and practiced it in their entire life; (3) Entering the modern era, traditional medicine has developed in several aspects, so, people tend to believe in this treatment. This study is a part of the historical local wisdom (HLW) to determine how the development of traditional medicine in Aceh from time to time.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.