The provisions of Article 49 paragraph (2) of Law Number 7 of 1989 concerning the Religious Courts and Article 7 paragraph (2) and paragraph (3) of the Compilation of Islamic Law are the juridical basis for the Religious Courts to carry out itsbat marriage. This provision also limits marriages that can be requested for itsbat to the Religious Courts if the marriage takes place after the enactment of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. However, because the marriage itsbat is very much needed by the community to fulfill administrative requirements and also to protect the rights of women and children, the judges of the Religious Courts conduct ijtihad by violating these provisions to grant the application for itsbat marriage submitted, taking into account the maslahah for the community. In general. Then the Director General of Badilag made it one of justice for all, especially for the poor Muslim community and those marginalized in the form of circuit courts at home and abroad. The urgency, problems, and practice in Kubu Raya are exciting to discuss because there are many initiations to perform itsbat marriage to get legal protection and certainty, as well as make people more sensitive to the law. The method used in this research combines field research and library research. Data collection methods include primary and secondary legal materials and interviews with the Kubu Raya Religious Court judges. It is hoped that the holding of this itsbat marriage will be able to protect the rights of women and children who are born so that there is no legal deviation and increase public awareness of the law, especially the people in the Kubu Raya area, West Kalimantan.
Intellectual property (IP) protection is an important thing in protecting and utilizing the creations of human ideas. Creations can take many forms including inventions, arts and literary, industrial designs, and others. IP not only regulates individual ownership but also concerns communal ownership based on local culture. Nowadays, globalization affects the protection and utilization of IP including local culture. As one of the important factors in global business, recognition of IP based on local culture has the opportunity to become a new advantage for the tourism sector in the globalization era, especially for tourism managed by local communities. For example, the utilization of digital technology for tourism business based on local cultural IP which is useful for improving community welfare in terms of economic and moral benefits. the business will be globalized and opportunities for equitable use of local cultural IP will be widely opened. Digitalization will also facilitate the protection and utilization of local cultural IP in order to gain global recognition easily and make the tourism sector based on local cultural IP to be more competitive with other countries in order to attract the attention of foreign tourists. This article is normative with a non-judicial case study. The methods are statute and conceptual approaching methods. The purpose of this article is to determine the form of protection and utilization of IP based on local culture that is ideal for the tourism sector in the era of globalization. Pelindungan Kekayaan Intelektual (KI) adalah instrumen penting untuk melindungi dan memanfaatkan hasil kreasi pikiran manusia. Kreasi pikiran manusia dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk diantaranya adalah invensi, seni dan sastra, desain industri, dan lain sebagainya. KI tidak hanya mengatur tentang kepemilikan secara individual tetapi juga mengatur perihal kepemilikian komunal berbasis kebudayaan tradisional. Saat ini, globalisasi telah berdampak kepada pelindungan dan pemanfaatan KI termasuk kebudayaan tradisional. Sebagai salah satu faktor penting dalam bisnis global, pengakuan terhadap KI berbasis kebudayaan tradisional berpeluang menjadi keunggulan baru bagi sektor pariwisata di era globalisasi khususnya pariwisata yang dikelola oleh masyarakat tradisional. Seperti contoh adalah pemanfaatan teknologi digital dalam menjalankan bisnis pariwisata yang berbasis KI kebudayaan tradisional yang berguna untuk meningkatkan kesejahteran masyarakatnya dari segi keuntungan ekonomi dan moral benefit. Bisnis tradisional akan mengglobal dan peluang untuk equitable use dari KI berbasis budaya tradisional akan terbuka lebar. Digitalisasi juga akan memfasilitasi pelindungan dan pemanfaatan KI berbasis budaya tradisional agar mudah memperoleh pengakuan secara global dan menjadikan pemanfaatannya di sektor pariwisata lebih kompetitif dengan negara lain guna menarik perhatian wisatawan mancanegara. Artikel ini bersifat normative dengan studi kasus non-yudisial. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan undang-undang dan konseptual. Tujuan penulisan artikel adalah untuk mengetahui bentuk pelindungan dan pemanfaatan KI berbasis budaya tradisional yang ideal untuk sektor pariwisata di era globalisasi.
Perkawinan poligami adalah perkawinan antara seoarang laki-laki yang pada saat bersamaan melakukan perkawinan atau melangsungkan hubungan perkawinan dengan beberapa orang wanita. Berbeda dengan perkawinan poliandri yang status hukumnya dinyatakan dilarang dan terlarang baik menurut hukum Islam maupun hukum positif, perkawinan poligami berada dalam dualisme pengaturan yaitu menurut hukum Islam dan menurut hukum positif yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana keabsahan status hukum perkawinan poligami tanpa izin pengadilan agama. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan kemudian memberikan penilaian (preskriptif) terhadap keabsahan status hukum perkawinan poligami yang dilakukan tanpa izin pengadilan agama. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian normatif karena menggunakan data sekunder atau data kepustakaan yaitu buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti, dengan metode pengolahan data adalah dengan menggunakan metode kualitatif dan analisis data bersifat deduktif. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa perkawinan poligami yang dilakukan tanpa izin pengadilan agama adalah perkawinan yang sah menurut hukum Islam akan tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum menurut hukum positif. Hal tersebut didasarkan pada peraturan peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa untuk melakukan perkawinan poligami seorang suami harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan agama dan pengadilan agama hanya memberi izin kepada suami yang akan melakukan poligami jika isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.