Artikel ini membahas gerakan politik Koko (Kotak Kosong) yang di bentuk oleh Forum Peduli Demokrasi Humbang Hasundutan (FPDHH) pada Pilkada Humbang Hasundutan tahun 2020 sebagai respon atas calon tunggal pada Pilkada didaerah tersebut. Fenomena ini menarik walaupun kotak kosong tidak berhasil dalam memenangkan Pilkada di Kabupaten Humbang Hasundutan namun perolehan suara sebesar 47,5 persen dari suara sah merupakan yang tertinggi dibandingkan 25 kabupaten/kota dimana paslon melawan kotak kosong. Kerangka pikir yang digunakan adalah peran civil society untuk memobilisasi dukungan hingga memperoleh persentase perolehan suara yang tertinggi pada Pilkada serentak tahun 2020. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi kasus. Pengumpulan data bersumber dari studi literatur baik dari buku, jurnal, dan berita yang berkaitan. Hasil dari artikel ini adalah bahwa di Kabupaten Humbang Hasundutan, pasangan calon tunggal yaitu Dosmar-Oloan didukung oleh seluruh partai politik yang memiliki kursi di DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan sehingga hal ini melahirkan kekecewaan masyarakat dengan mendirikan Gerakan Koko (Kotak Kosong) oleh Forum Peduli Demokrasi Humbang Hasundutan sebagai bentuk perlawanan terhadap calon tunggal yang dianggap mencederai demokrasi serta kekecewaan terhadap kegagalan partai memunculkan kader internal untuk maju sebagai pasangan calon bupati-wakil bupati. Kegiatan yang dilakukan dengan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terhadap calon tunggal dan kotak kosong serta mendirikan posko relawan pemenangan kotak kosong.
Crisis conditions and populist actors in several literatures show a significant relationship, especially in crises that are endogenous or caused by human actions. In an exogenous crisis, the process of politicizing these situations and conditions becomes difficult, because the nature of the crisis is caused by accidental shocks or beyond human control, which tends to create uncertainty about what actions to take. Based on the theory developed by Bobba Hubé (2021a), the relationship between populist actors and crisis situations and conditions is not only when action is needed to weaken or solve problems, furthermore, populist actors can also act as crisis facilitators whose role is to spread a sense of crisis (Bobba Hubé, 2021a). Anies Baswedan is known as one of the populist actors who won the 2017 DKI Jakarta Provincial election. As a regional head, Anies Baswedan also has the responsibility to be able to handle the Covid-19 pandemic outbreak in DKI Jakarta Province. This article will analyze the response of populist actors, in this case Anies Baswedan, to the initial phase (January – March 2020) of the Covid-19 pandemic crisis. The results of this study indicate that Anies Baswedan as a populist actor, not only seeks to weaken crisis situations and conditions through regional quarantine or lockdown policy proposals, but also acts as an actor facilitating crisis situations and conditions, thus providing a foothold or legitimacy for the proposed policies.Keywords: Crisis, Populism, Pandemic Covid-19 AbstrakKondisi krisis dan aktor populis pada beberapa literatur menunjukan keterkaitan yang cukup signifikan, khususnya pada krisis yang bersifat endogen atau disebabkan oleh tindakan manusia. Pada krisis yang bersifat eksogen proses politisasi akan situasi dan kondisi tersebut menjadi sulit, karena sifat krisis yang disebabkan oleh guncangan tidak disengaja atau diluar kendali manusia, sehingga cenderung memunculkan kegamangan atas tindakan yang harus dilakukan. Berdasarkan teori yang dibangun oleh Bobba Hubé (2021a), keterkaitan antara aktor populis dengan situasi dan kondisi krisis tidak hanya pada saat dibutuhkannya tindakan yang dapat melemahkan atau menyelesaikan masalah, lebih jauh dari itu, aktor populis juga dapat bertindak sebagai fasilitator krisis yang berperan untuk menyebarkan rasa krisis (Bobba Hubé, 2021a). Anies Baswedan dikenal sebagai salah satu aktor populis yang berhasil meraih kemenangan pada pilkada Provinsi DKI Jakarta tahun 2017. Sebagai kepala daerah, Anies Baswedan juga memiliki tanggung jawab untuk dapat menangani wabah pandemi Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta. Artikel ini akan menganalisis bagaimana respon aktor populis, dalam hal ini Anies Baswedan, terhadap fase awal (Januari – Maret 2020) krisis pandemi Covid-19. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Anies Baswedan sebagai aktor populis, tidak hanya berupaya untuk melemahkan situasi dan kondisi krisis melalui usulan kebijakan karantina wilayah atau lockdown, melainkan juga berperan sebagai aktor yang memfasilitasi situasi dan kondisi krisis, sehingga memberikan pijakan atau legitimasi atas usualan kebijakan yang diajukan.Kata kunci: Krisis, Populisme, Pandemi Covid-19
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.