Penelitian ini merupakan sebuah tinjauan terhadap perencanaan pencahayaan buatan yang digunakan pada interior Selasar Sunaryo Art and Space, Bandung. Cahaya merupakan bagian mutlak dalam kehidupan manusia. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa otak manusia, menerima 80% informasi yang ada melalui mata. Secara umum, cahaya dapat dibedakan menurut sumbernya menjadi 2, yaitu cahaya alami dan cahaya buatan. Cahaya alami adalah cahaya yang bersumber dari alam (matahari, bulan, bintang dan pijaran api alam). Sedangkan cahaya buatan adalah cahaya yang dibuat oleh manusia (lampu minyak,lampu gas, lilin, lampu listrik). Perkembangan kebutuhan manusia di segala aspek kehidupannya, menuntut ketersediaan fasilitas yang mampu mengakomodir hal tersebut. Dalam kehidupannya, manusia beraktivitas di luar dan di dalam ruangan. Baik di luar maupun di dalam ruangan, manusia membutuhkan kenyamanan selama melakukan aktivitasnya. Faktor kenyamanan manusia, khususnya kenyamanan visual ketika beraktivitas di dalam ruangan, berkonsekuensi logis terhadap perkembangan perencanaan pencahayaan. Kualitas cahaya dari sumber-sumber cahaya yang dihasilkan akan menentukan hasil akhir perencanaan pencahayaan. Idealnya, dalam mendukung aktivitas manusia di dalam ruangan, sumber cahaya alami dan buatan dimanfaatkan secara maksimal dalam suatu perencanaan pencahayaan. Pada prakteknya, aktivitas manusia di dalam ruangan lebih banyak mengandalkan pemanfaatan sumber cahaya buatan. Hal ini terjadi karena sumber cahaya buatan relatif dapat dikendalikan sesuai dengan waktu dan jumlah yang diinginkan. Dewasa ini, penggunaan lampu listrik menjadi pilihan utama dalam perencanaan pencahayaan di dalam ruangan. Lampu listrik menawarkan kemudahan, keamanan, kebersihan dan konsumsi energi yang rendah. Sehingga kenyamanan manusia dalam beraktivitas di dalam ruangan dapat berjalan dengan optimal tanpa terkendala oleh waktu. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini merupakan paparan berdasarkan data lapangan dari masing-masing unsur dalam perencanaan pencahayaan buatan yang digunakan dalam interior Selasar Sunaryo Art and Space Bandung.
Lisung paired with halu is one of the traditional Sundanese farming tools that has a practical function as a pestle/grain pounder into rice. From the perspective of the world view of Sundanese, lisung-halu is a cultural product that is born from the mythical logic of Sundanese. It is the manifestation of the values, norms, characteristics, desires and beliefs of agrarian Sundanese. It is the personification of male and female in world’s top (mythical world). Sundanese are oriented towards awareness of their origins. Men are considered stronger than women. But in the context of lisung-alu, the role becomes reversed. This article is descriptive qualitative by using the theory of psycho-analysis from Carl Gustav Jung to study the physical of lisung-halu (awareness output) as the personification of women in the mythical world (unconscious output) within the framework of the world view of agrarian Sundanese. The approach which is taken in this article is the cultural approach because this article is an attempt to understand the facts that refer to something. This writing is in order to generate insight and knowledge about the values of life and beliefs of the agrarian Sundanese which is contained in lisung-halu through the personification of women in mythical world.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari peran pencahayaan untuk menciptakan suasana yang dapat menggambarkan tema atau penggayaan tertentu yang diterapkan pada desain ruang Beehive Boutique Hotel sehingga dapat terlihat, terasa, dan teramati visualisasinya oleh pengguna ruang atau pengamat ruang. Pencahayaan menjadi elemen yang penting untuk menghadirkan suasana serta karakter pada suatu ruang interior. Terdapat banyak jenis pencahayaan yang dapat diterapkan pada ruangan interior dan bergantung pada suasana apa yang ingin dirasakan oleh pengguna ruang. Pencahayaan juga dapat mendukung untuk menghadirkan visualisasi dari penggayaan yang diterapkan pada ruangan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pengamatan dan perbandingan berdasarkan teori yang dipakai pada penelitian. Hasil dan kesimpulan yang diambil dijelaskan secara deskriptif menurut pengamatan yang dilakukan peneliti dengan membandingkannya dengan teori yang dipakai. Kesimpulannya adalah bahwa peran pencahayaan yang diterapkan pada ruang interior Beehive Boutique Hotel dapat membantu menciptakan suasana yang menggambarkan tema atau penggayaan Skandinavia yang diterapkan pada interior hotel.
The interior elements designed in a specifi c theme are aimed to shape a character, a perception, and an atmosphere of spaces. In Bandung, culinary facilities that carry the theme of the old-style interior design of the Dutch East Indies are quite popular. This study aims to contribute guidance in creating the quality of space by applying the selection of decoration and furniture elements (moveable interior elements) and the arrangement of walls, fl oors, and ceilings (unmoveable interior elements). This study applies a case study as a research method and a direct observation of the Indischetafel Café, while the analysis uses a descriptive analysis method. This study is to examine aspects of interior element arrangement in the Indischetafel Café in bringing the atmosphere of Bandung Tempo Dulu.
The purpose of this article is to look at the governance of usable or replaceable resources in the context of the nutu tradition as a model for long-term women's economic empowerment in Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar are a Sundanese social group in Banten with economic independence, particularly in food. They believe and live a life based on tatali paranti karuhun as the best form of life in the midst of life's dynamics and modernization. One manifestation of his belief can be seen in his attitude toward preserving farming customs and the use of non-mechanized tools, specifically lisung to process rice. They use a lisung to carry out the tradition of nutu (pounding rice). This tradition is based on siloka, meaning and value about humans and life, and has broad and deep dimensions. The nutu tradition features women as the main characters. This relates to the role of women in Sundanese culture, which is characterized by a binary opposition that is neither matriarchal nor patriarchal, including the pursuit of the family's economic degree. The narrative inductive research method was used, which is a hybrid of economics and socio-cultural science. The data collection technique is an in-depth interview with traditional elders (puun), both jaro and women from the local community. According to the findings of this study, the survival of the nutu tradition is linked to the issue of local community values and cultural interpretations in the form of (1) the concept of parents as a replaceable resource factor and (2) the concept of lineage, kinship, and brotherhood as a usable resource factor as a benchmark for women's economic empowerment. Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar's sustainability.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.