<em><span>Bencana merupakan hal yang lazim dialami oleh masyarakat di Indonesia dan menjadi problematika tersendiri.</span><span>Masyarakat yang terbiasa menghadapi bencana</span><span lang="EN-GB"> akan</span><span> memiliki pengetahuan lokal dalam melakukan mitigasi bencana. Pengetahuan lokal atau kearifan lokal tersebut merupakan hasil dari adaptasi serta pengalaman dari kejadian yang pernah terjadi di daerah tersebut. Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Desa Tieng merupakan wilayah yang rawan longsor dan pernah dilanda banjir bandang pada tanggal 18 Desember 2011. Bencana banjir bandang tersebut menimbulkan korban jiwa serta kerugian harta benda yang tidak sedikit. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan struktural fungsional terkait kesadaran kolektif masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa upaya mitigasi</span><span>berbasis kearifan lokal yang dilakukan masyarakat di Desa Tieng</span><span lang="EN-GB">, Kabupaten Wonosobo</span><span>. Hasil dari penelitian ini adalah masyarakat memiliki kesadaran bersama untuk melakukan mitigasi yang ditunjukan dengan kebiasaan untuk keluar rumah dan menuju tempat yang lebih aman dengan membawa surat berharga ketika terjadi hujan deras dengan intensitas tinggi lebih dari dua jam, sebulan sekali kerja bakti membersihkan sungai dan menanam pohon, sering diadakan sosialisasi tentang banjir dan longsor khususnya ketika musim hujan, serta masyarakat memiliki pemahaman bahwa mereka harus bersikap arif kepada alam.</span></em>

Era revolusi 4.0 mendorong masyarakat untuk memanfaatkan internet sebagai wahana digital marketing. Masyarakat utamanya yang bergerak di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memiliki jangkauan pasar yang lebih luas dengan penggunaan internet atau pemasaran  berbasis online lainnya. Hal tersebut mendorong akademisi sebagai bagian dari masyarakat untuk berperan aktif dalam menginisiasi, mendorong, dan mendampingi realisasi digital marketing tersebut, salah satunya telah dilakukan tim UGM di Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Desa Giriharjo memiliki potensi usaha pangan lokal maupun handycraft yang dapat dikembangkan melalui digital marketing. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tujuan mengidentifikasi fungsi dan dampak digital marketing yang telah diterapkan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Adapun hasil penelitian menunjukkan adanya fungsi manifes berupa peningkatan jumlah penjualan dan omzet yang diperoleh pengusaha melalui digital marketing sedangkan fungsi latennya berupa perubahan gaya hidup masyarakat perdesaan yang menjadi konsumtif semenjak mengenal dunia internet.

Penelitian ini dilakukan di Desa Pagerharjo, Kulonprogo, wilayah yang rawan terhadap terjadinya longsor lahan, pada bulan Juni -Agustus. Tujuan dari penelitian ini yaitu adalah menganalisis modal sosial untuk kesiapsiagaan masyarakat terhadap mitigasi bencana longsor. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dipilih 9 (Sembilan) dusun yang memiliki tingkat rawan longsor tinggi. Masyarakat di Desa Pagerharjo khususnya 9 (Sembilan) dusun tersebut telah memahami apabila tempat tinggalnya merupakan wilayah yang rawan sedang hingga tinggi terhadap ancaman bencana longsor, terutama ketika musim hujan tiba. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori modal sosial Coleman. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Pagerharjo memiliki modal sosial dalam upaya mitigasi bencana. Masih mempunyai rasa kebersamaan yang tinggi yaitu gotong royong dalam menghadapi bencana. Mitigasi dapat berupa sosialisasi bencana, gotong-royong, mitigasi struktural, budaya, dan adanya aspek kepemimpinan. Masyarakat juga mempunyai kepercayaan lokal berasal dari nenek moyangnya yang merupakan perpaduan antara agama dan budaya dalam mitigasi bencana longsor. Kemauan melakukan transmigrasi merupakan wujud dimensi modal sosial dari rasa kebersamaan dan kepercayaan terhadap pimpinan dusun, desa dan pemerintah setempat.

Cyclone disaster is the second most deadly disaster in Indonesia after flooding. Cyclones mostly occur during the transitional period from dry season to rainy season. West Muna Regency is one of the regions which started to experience cyclones as a disaster in 2015 where they experienced the most immense disaster that has occurred on record. This disaster caused 600 houses in three districts namely North Tiworo District, South Tiworo District, and Tiworo Archipelago District to be heavily damaged. The magnitude of the disaster was caused by the distribution of area in the three districts which are generally comprised of floating villages far from Muna Island mainland. Cyclone disasters which occur in West Muna Regency requires attention in which one form is non-structural mitigation. Non-structural mitigation can be embodied in the forms of law formulation, formulation of a hazard map, formulation of a risk map, zonation, education, counseling, and emerging awareness toward the community. The focus of this research was recommending the implementation of non-structural mitigation through media literacy, which is categorized as establishing awareness within the community. This research as aimed to enhance the awareness and knowledge of the community related to cyclone disaster. The research method used was a qualitative descriptive by performing depth interviews with community figures. The results of this research have indicated that media literacy is a method of non-structural mitigation which is effective and in accordance with the development of the era. The implemented media are printed or social media because both media are considered relevant as the socialization media regarding the knowledge of cyclones.

Muna Barat District is a prone area to natural disasters, such as earthquakes and tidal waves. The cyclone and tidal waves often occur and those two phenomena occur during the transition season (from the dry to the rainy season). This research aims to analyse the vulnerability and capacity related to the readiness of the community of Bajo Tribe to face the cyclone . The method being applied in this research is quantitative descriptive. Furthermore, the village that are selected purposively are those where located on the sea and hit by the cyclone. The sample chosen is the head of family of Bajo Tribe. Vulnerability and capacity are counted with Analytical Hierarchy Process (AHP) weighting in determining the priority scale or the most preferred alternative choice. The result of this research is Tiga, Bero, Tasipi, and Katela Village are categorized as medium vulnerability and Mandike Village has low vulnerability. Tiga, Bero, Tasipi, Mandike, and Katela Village are classified as medium capacity.