Abstract. This study describes the marriage legality between Christian and non-Christian in Corinth. The text that is used as a focus for interpretation is 1 Corinthians 7:12-16, by using the socio-historical criticism. The text was chosen because it talked about the marriage of different beliefs that took place in the City of Corinth. To interpret text by the socio-historical criticism, things to consider are: First, the background of the social and historical context and mixed marriage in Corinth. Second, the problem of holiness and divorce in marriage in Corinth. Based the study, it can be explained that Paul's understanding of the sanctity of Christian marriage is a way to make a border between holiness and unholiness in pluralistic Corinthian society.Abstrak. Tulisan ini menguraikan persoalan keabsahan pernikahan antara orang Kristen dan bukan Kristen di Kota Korintus. Fokus teks yang menjadi acuan penafsiran adalah 1 Korintus 7:12-16, dengan menggunakan pendekatan tafsir sosio-historis. Teks tersebut dipilih karena berbicara menyangkut pernikahan berbeda keyakinan yang terjadi di Kota Korintus. Untuk menafsirkan teks dengan sosio-historis, maka hal yang diperhatikan adalah latar belakang konteks sosial-historis dan pernikahan campuran di Korintus, serta masalah kekudusan dan perceraian dalam pernikahan di Korintus. Berdasarkan hasil studi, maka dapat dijelaskan bahwa pemahaman Paulus tentang kudusnya pernikahan Kristen adalah cara menarik batas antara kudus dan cemar dalam masyarakat Korintus yang majemuk.
The moral crisis in Christian families due to globalization has resulted in the loss of the function of the Christian family in society. This results in the shift in family values to be replaced by individualist, consumerist, and hedonistic values. This article describes the concept of family (hausetafel) in the letters of Ephesians and Colossians. The author uses a historical socio interpretation, to search for and find the meaning of the two epistles. The results of the interpretation show that the two epistles are very rich related to family and moral values (character). The meaning cannot be separated from its socio-historical and cultural context. Some of the values contained include the revelation of Christ in and through the family, love as the basis for binding family members, the family as a basis for character education, equality relations. The family image becomes a model for church life. Abstrak Krisis moral yang terjadi di tengah keluarga Kristen akibat globalisasi, mengakibatkan hilangnya fungsi keluarga Kristen di tengah masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan bergesernya nilai-nilai keluarga digantikan dengan nilai-nilai individualis, konsumerisme, hedonistik. Artikel ini memuat tentang konsep keluarga (hausetafel) dalam surat Efesus 6:1-9. Penulis menggunakan penafsiran sosio historis, untuk mencari dan menemukan makna atau nilai kekeluargaan menurut pemikiran Paulus. Hasil penafsiran menunjukkan bahwa penguatan nilai-nilai keluarga tidak lepas dari konteks sosio-historis dan kulturalnya yang yang didominasi oleh pola-pola relasi kekuasaan yakni patron-klien yang ber-dampak pada kehidupan persekutuan umat. Sehingga perlu adanya penguatan moral dan karakter yang berdasar pada nilai-nilai kekeluargaan. Beberapa nilai haustafel yang menonjol dalam perikop ini yakni nilai kebenaran, kasih dan ketaatan, penghormatan, nilai persaudaraan, bersikap adil dan hidup setara yang selanjutnya menjadi model bagi kehidupan gereja maupun kekristenan.
There are many texts and interpretations of slavery and its problems in the Greco-Roman world. However, few have attempted to unravel the approaches and strategies used to resolve the conflict by Paul with people/communities who have accepted the gospel. This study focuses on Paul’s role as a mediator to the slavery conflict between Philemonand Onesimus in his letter to Philemon. This study aims to analyze: First, the reasons for Paul being concerned on the issue of slavery in his letter to Philemon. Second, Paul’s approach in resolving the slavery conflict. Third, the relevance of Paul’s approach in resolving the slavery conflict in modern life. To reach these objectives, this study uses a socio-historical interpretation method, which emphasizes the reciprocal relationshipbetween humans with all their dynamics and interactions, which also influences the meaning of the biblical text. The data collected in the form of literature studies/scientific literature related to the title of this study, were processed and presented in the form of a description. Abstrak Ada banyak teks dan penafsiran tentang isu perbudakan dan masalahnya dalam konteks masyarakat Yunani-Romawi pada masa Rasul Paulus. Namun demikian, kajian mengenai pendekatan dan strategi Paulus dalam penyelesaian konflik pada orang/komunitas yang telah menerima Injil, masih jarang dilakukan. Studi ini mempertanyakan peranan dan pendekatan yang dipakai Paulus dalam konflik perbudakan dan relevansinya dalam konteks masa kini. Dengan menggunakan kritik sosio-historis, studi ini bertujuan untuk menganalisis: Pertama, Alasan isu perbudakan menjadi perhatian Paulus dalam suratnya kepada Filemon. Kedua, Pendekatan Paulus dalam penyelesaian konflik perbudakan. Ketiga, Relevansi pendekatan Paulus dalam penyelesaian konflik perbudakan dalam kehidupan modern. Untuk mencapai tujuan tersebut, studi ini menggunakan metode penafsiran sosiohistoris, yang menekankan pada hubungan timbal balik antar manusia dengan segala dinamika dan interaksinya, yang turut memengaruhi pemaknaan teks Alkitab. Data yang dikumpulkan berupa kajian-kajian pustaka/literatur ilmiah yang berhubungan dengan judul studi ini, kemudian akan diolah dan disajikan dalam bentuk deskripsi.
Disability is an imbalance of interactions between biological conditions and the surrounding social environment. Disability is never separated from understanding normality. However, normality that results in normal can harm the personal lives of people with disabilities. Likewise with theology and Christianity tends to ignore the reality of persons with disabilities with biased interpretations of the Bible. John 9: 1-40 gives another dimension, Jesus healed and even defended people with disabilities. This text gives hope for the good treatment of Jesus for persons with disabilities. However, the reality in this life is not like that. For this reason, this study deals with the text of John 9: 1-40 using a critique of the reader's response to finding out, first, the response of persons with disabilities to the text, and secondly the meaning of God's work through persons with disabilities. This research focuses on diverse groups of people with disabilities at the Yayasan Cergas, Maluku. AbstrakDisabilitas merupakan ketidakseimbangan interaksi antara kondisi biologis dan lingkungan sosial sekitar. Disabilitas memang tidak pernah terlepas dari pemahaman normalitas. Akan tetapi, normalitas yang menghasilkan norma-lisme dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan pribadi penyandang disabilitas. Begitu juga dengan teologi dan kekristenan yang cenderung mengabaikan realitas penyandang disabilitas dengan berbagai penafsiran Alkitab yang bias. Yohanes 9:2-3 memberikan dimensi lain, Yesus menyem-buhkan, bahkan membela kaum disabilitas. Teks ini memberikan pengha-rapan akan perlakuan yang baik dari Yesus bagi penyandang disabilitas. Namun, kenyataan dalam kehidupan sekarang tidak seperti demikian. Untuk itu, studi ini menggumuli teks Yohanes 9:2-3 menggunakan suatu kritik tanggapan pembaca untuk mengetahui, pertama, respon penyandang disabi-litas terhadap teks tersebut, dan kedua, pemaknaan karya Allah melalui diri penyandang disabilitas. Penelitian ini berfokus pada kelompok penyandang disabilitas yang beragam pada Yayasan Cergas, Maluku.
The concept of salvation that is unraveled in the New Testament is an interesting thing to analyze. Christians often use the concept of salvation to see a different world with their own identity. One of them is Romans 11:17-24, which speaks of salvation for both Gentiles and Jews. In this article, the text is analyzed descriptively, qualitatively. The findings of this study are: First, Israel’s refusal has resulted in the opening of salvation for people outside Israel. Second, the person who has been chosen to be saved must take responsibility for the choice, which is based on compassion and grace alone. Third, the form of safety response is an attitude of faith and obedience.AbstrakKonsep keselamatan yang terurai dalam Perjanjian Baru merupakan hal yang menarik untuk dianalisis. Kekristenan sering menggunakan konsep keselamatan untuk melihat dunia yang berbeda dengan identitas mereka sendiri. Salah satunya adalah teks Roma 11:17-24 yang berbicara tentang keselamatan bagi orang bukan Yahudi dan orang Yahudi. Dalam artikel ini, teks tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan mempertimbangkan interpretasi gambaran visual dalam teks. Setelah dianalisis, maka ada beberapa hal yang ditemukan; Pertama, penolakan Israel mengakibatkan terbukanya keselamatan bagi orang di luar Israel. Kedua, orang yang telah dipilih untuk menjadi selamat harus bertanggung jawab atas pilihan, yang didasarkan pada belas kasih dan anugerah semata. Ketiga, bentuk respons keselamatan adalah sikap percaya dan taat.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.