Traditional clothing is one of the essential identities in Southeast Asian countries, knowns as ASEAN members; it was once used to showcase individual status in the community. It is still important today and worn on particular occasions to preserve tradition, and now it's emerged as one of the commercial goods. Yet, it becomes a vulnerable commodity when it becomes the object of cultural piracy, dispute of ownership, and disagreement of origin. The problem will continue to be detrimental to indigenous peoples who own it and possibly rift the relationship between ASEAN countries. The protection of traditional clothing in ASEAN is still weak, and there has been no specific legal instrument to regulate it. The intellectual property right (IPR) regime protects traditional clothing as a traditional cultural expression (TCE). TCE protection is part of the international regulation of intellectual property; however, without it well-implemented at the domestic level, TCE can easily be claimed as belonging to other parties who first published and registered them. This research will examine the legal protection of traditional clothes under IPR regimes in ASEAN in their national legal regulations. This research uses a comparative approach that primarily examines the laws and regulations governing the protection of Intellectual Property Rights in ASEAN countries. This research indicates that no single country in ASEAN has a specific law related to traditional cultural expressions (TCE) protection on traditional clothes. The protection for traditional clothes will be embedded in other IPR regimes such as Copyright, trademark, or non-IPR legislation.
Dalam perkembangannya, karya cipta hasil kreasi seorang manusia atau sekelompok orang harus dilindungi dan mereka berhak mendapatkan hak cipta atas karyanya sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi. Seni tari dan musik tradisional merupakan warisan budaya yang bernilai dan berdaya guna tinggi, oleh karenanya sangat penting untuk dilindungi. Seni tari dan musik tradisional sebagai ekspresi budaya tradisional dilindungi berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta tahun 2014. Dalam implementasinya, ketentuan ini belum terlaksana secara efektif. Salah satu faktor penyebabnya adalah masyarakat baru sebatas mengetahui, namun belum memahami substansinya, bahkan masih ada yang tidak mengetahui peraturan perundang-undangan tentang hak cipta terutama yang berkaitan dengan hak cipta akan kekayaan ekspresi budaya tradisional, termasuk pemahaman tentang pentingnya melakukan inventarisasi dan dokumentasi dalam rangka perlindungan hukum melalui kerjasama pemerintah dengan masyarakat serta pihak terkait. Sehingga masalah ini sangat rentan untuk diakui oleh orang lain bahkan negara lain. Sehingga diseminasi perlindungan hukum terhadap hak cipta khususnya ekspresi budaya tradisional sangat penting dilaksanakan, dikarenakan hal tersebut dapat memberikan pengetahuan, pemahaman hingga peningkatan kapasitas bagi pekerja seni dalam mengaplikasikan pengetahuan terhadap hak cipta.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada seniman tari di asosiasi seni mengenai perlindungan hukum terhadap karya cipta dalam rezim hak kekayaan intelektual, serta karya cipta yang dikategorikan sebagai kekayaan intelektual personal dan komunal juga nilai moral dan ekonomis yang muncul dari karya cipta tersebut. Mitra merupakan para seniman tari baru yang masih belum memahami bagaimana perlindungan terhadap karya cipta. Batasan seperti apa yang diperbolehkan atau tidak sebuah karya cipta tersebut diakui sebagai karya cipta intelektual personal maupun komunal. Metode yang digunakan adalah ceramah (penyampaian materi) dan pendampingan dalam mengklasifikasi karya cipta yang bisa diakui dan mendapatkan hak cipta serta menyusun syarat administratif yang harus dipenuhi dalam mengurus dokumen hak cipta. Berdasarkan hal tersebut maka pengabdian dilakukan oleh beberapa orang yang berasal dari berbagai bidang ilmu seperti hukum, pendidikan tari dan ilmu komputer. Mitra adalah “Asosiasi Seni Nuwo Koneng Production”. Asosiasi seni ini merupakan kelompok-kelompok sanggar tari, pencipta tari, penari, pencipta musik dan pemusik yang berada di Bandar Lampung. Berdiri sejak tahun 2019 dan beralamat di Bandar Lampung. Para pekerja seni yang terdiri dari pemusik dan penari yang tergabung dalam asosiasi ini berjumlah 20 sanggar yang terbagi kedalam beberapa kelompok.
Sebagian besar masyarakat umum mengenal hak kekayaan intelektual (HKI) berupa hak cipta dan paten. Namun, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual juga dapat diberikan pada produk seni budaya tradisional tidak hanya untuk inovasi saja. Guru seni (budaya) merupakan key actor yang terlibat secara langsung dalam memberikan pengajaran, melestarikan, dan mempraktekkan seni budaya. Namun, para guru seperti halnya masyarakat pada umumnya tidak mengetahui bahwa perlindungan Hak Kekayaan Intelektual berkaitan dengan profesi mereka sebagai guru seni. Oleh karena itu, diseminasi Hak Kekayaan Intelektual khususnya berkenaan dengan seni budaya san-gat diperlukan. Sehingga terlaksananya tujuan untuk menyebarluaskan pengetahuan mengenai Hak Kekayaan Intelektual bagi guru seni se-Provinsi Lampung sebagai sasaran kegiatan.
Indonesian Migrant Workers (PMI) are the country's largest foreign exchange earner. Often dubbed as foreign exchange heroes, it does not make them free from problems while working abroad. Often PMIs are victims of violence and other crimes, especially illegal PMIs. PMI's lack of understanding of the law is one of the factors causing the high number of legal cases experienced by PMI. The form of protection for Indonesian citizens who are abroad should be socialized to PMI Candidates. Kenshusei are basically apprentices stationed in Japan, one of the fields that sends kenshusei a lot is fisheries. For this reason, this activity aims to provide insight to PMIs regarding the rights and obligations as well as protection related to the Rogatory System. The Rogatory System is run by the Ministry of Foreign Affairs and the Supreme Court. The target of this service is PMI/PMI candidates to be able to understand the Rogatory System as a means of protection for PMIs working abroad. The methods used in this service are counseling and focus group discussions (FGD).
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.