Stres akademik adalah istilah yang populer dalam dunia pendidikan untuk mendeskripsikan stres yang dialami individu akibat perubahan lingkungan pendidikan. Stres sebenarnya adalah reaksi yang normal terhadap tekanan sehari-hari (American Psychological Association, 2019), namun stres yang terus menerus terjadi dalam keseharian seseorang dapat menjadi gangguan yang serius. Gangguan emosional (psikis/mental) dan fisik yang diakibatkan oleh beban yang melebihi kapasitas dari kemampuan seseorang dan terus menerus berada di dalam diri seseorang akan menjadi penghambat dalam berbagai aktivitas yang dilakukan (Suharsono & Anwar, 2020).Kelompok mahasiswa yang rentan mengalami stres akademik selama pandemi COVID-19 adalah kelompok mahasiswa yang sedang menyusun skripsi (Alimah & Khoirunnisa, 2021). Mayoritas universitas di Indonesia mensyaratkan skripsi sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana. Namun dalam situasi pandemi, berbagai penelitian menyebutkan bahwa mahasiswa semakin cemas, khawatir, dan kebingungan dalam menyelesaikan skripsinya (Azizah & Satwika, 2020;Nurcahyo & Valentina, 2020). Oleh karena itu, penyusunan skripsi selama pandemi COVID-19 menjadi tekanan tersendiri yang menyebabkan stres bagi mahasiswa. Pengelolaan/manajemen stres sangat penting bagi mahasiswa agar terhindar dari stres akademik jangka panjang (Sawitri & Widiasavitri, 2021;Sujadi, 2015).Terdapat faktor penting yang dapat membantu individu untuk mengelola stres akademik. Faktor ini disebut faktor protektif, yang merupakan sifat seseorang atau konteks yang dapat mengubah hasil menjadi lebih baik dalam suatu kondisi (Masten & Reed dalam Chung, 2008). Dalam kaitannya dengan stres akademik, faktor protektif dapat mengurangi faktor penyebab stres (Colman et al., 2014). Faktor protektif terdiri dari dua jenis, yaitu faktor protektif dari dalam diri individu (misalnya self-efficacy, hardiness, kompetensi, optimism), dan faktor protektif yang berasal dari luar individu (misalnya dukungan sosial, pola asuh orang tua) (Chung, 2008;Yildirim at al., 2017). Self-efficacy mendapat perhatian ekstra dari para peneliti, karena self-efficacy dinilai dominan dalam menahan serta mengurangi pengaruh negatif dari stres akademik (Chiu, 2014;de la Fuente et al., 2020;Jung et al., 2015;Kooshki et al., 2018;Maulana & Alfian, 2021). Self-efficacy merupakan keyakinan individu mengenai kapasitas dirinya dalam melakukan sesuatu (Bandura, 2012). Bandura (2006) menyebutkan dimensi-dimensi yang terdapat pada self-efficacy terdiri dari 3 bagian yaitu Generality, Strength, dan Level. Sagone & De Caroli (2016) lebih lanjut menjabarkan dimensi-dimensi tersebut. Dimensi Level (tingkat kesulitan tugas) yaitu dimensi yang berfokus pada kesulitan. Dimensi ini menilai sejauh mana individu