The existence of beggars is one of the social phenomena that concern for the life of Indonesian society. Nevertheless, in reality, it is often heard there are some areas that are known many of its citizens survive as beggars. The area is often referred to as a village of beggars. One of the beggar villages in the province of East Java is Kampung Baru Sidowayah Village Beji District of Pasuruan. The purpose of this study is to describe the social reality of the history of Kampung Baru's existence, the characteristics of the people who work as beggars, the reasons why many Kampung Baru people make beggars the main livelihoods, and what are the effects of begging for the life of the community. This research is done by qualitative method by using social construction approach. The result of the research shows that the reason of Kampung Baru's residents to be beggars is because of the history of Kampung Baru, which is a region for homeless relocation, lack of access to water and the inability of people to buy agricultural land or plantations, and low education and skills are the reasons why people continue to work as beggars. Being a beggar is better than unemployment because it can generate attractive income. Attributed to the social construction theory, Kampung Baru people continue to survive as beggars also due to the absence of social sanctions from the surrounding community. Being a beggar is a natural activity so it is passed on to the child and his descendants. It is further known that working with beggars turns out to have a devastating effect on people's lives. As a result of begging the citizens tend to have a lazy nature, like things that are practical, and do not have good social ties. Due to the begging activities carried out almost daily through the night, the majority of New Kampung residents are not much at home and interact with neighbors. This then leads to an individualistic attitude in society.
Keberadaan pengemis adalah salah satu fenomena sosial yang memprihatinkan bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun demikian pada realitanya sering terdengar ada beberapa wilayah yang diketahui banyak warganya bertahan hidup sebagai pengemis. Wilayah tersebut sering disebut sebagai kampung pengemis. Salah satu kampung pengemis di provinsi Jawa Timur adalah Kampung Baru Desa Sidowayah Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan realitas sosial bagaimana sejarah keberadaan Kampung Baru, karakteristik masyarakat yang bekerja sebagai pengemis, alasan banyaknya masyarakat Kampung Baru menjadikan pengemis sebagai mata pencaharian utama, dan apa dampak pengemis bagi kehidupan masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan konstruksi sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan warga Kampung Baru menjadi pengemis karena akibat sejarah Kampung Baru yang memang merupakan wilayah untuk relokasi tunawisma, minimnya akses air dan ketidakmampuan warga untuk membeli lahan pertanian atau perkebunan, serta pendidikan dan keterampilan yang rendah menjadi sebab masyarakat tetap bekerja sebagai pengemis. Menjadi pengemis dirasa lebih baik daripada menganggur karena dapat menghasilkan pendapatan yang menarik. Dikaitkan dengan teori konstruksi sosial ternyata masyarakat Kampung Baru tetap bertahan menjadi pengemis juga akibat tidak adanya sanksi sosial dari masyarakat sekitar. Menjadi pengemis adalah kegiatan yang wajar sehingga kemudian diwariskan kepada anak dan keturunannya. Lebih lanjut diketahui bahwa bekerja menjadi pengemis ternyata memiliki dampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Akibat mengemis para warga cenderung memiliki sifat malas, menyukai hal-hal yang bersifat praktis, dan tidak memiliki ikatan sosial yang baik. Akibat kegiatan mengemis yang dilakukan hampir setiap hari hingga malam, mayoritas penduduk Kampung Baru tidak banyak berada di rumah dan berinteraksi dengan tetangga. Hal ini kemudian menimbulkan sikap individualistis dalam masyarakat.