The purpose of this paper is to look at and reflect back on how religion, government, institutions, and society should view people with disabilities. The Bangun Aceh Forum is a facilitator for the sustainability of the livelihoods of people with disabilities so that they can continue to be productive and hone their abilities. This study applying a qualitative method, the study show that as a social institution and has a focus on developing marginalized communities towards a more secure direction, the provision of infrastructure is provided with the needs and conditions of disability. So far, the mention of disability describes disability in a broad context, even though people who experience mental problems can also be categorized as disabilities. There are no different ways of handling physical and non-physical disabilities. In the study of theology, persons with disabilities are a group of people who must be accepted in social life without labels and differences physically or mentally. However, in fact, the disabled until now continue to receive labels that are not good and have not changed from time to time where people think that people with disabilities are very dependent on humans with normal physical conditions and are not independent, and the talents they have are often neglected because they do not have the space and resources. place in people's lives. it is not uncommon to find people with disabilities who desperately choose to become beggars. Both physical and non-physical disabilities from time to time will continue to receive discriminatory treatment from the community, whether consciously or unconsciously. The provision, attention and understanding of disability self still needs to be improved in the socialization of social communities in order to understand the real concept and meaning of disability.
Tujuan tulisan ini adalah untuk melihat dan merefleksikan kembali bagaimana seharusnya agama, pemerintah, lembaga, dan masyarakat dalam memandang kaum disabilitas. Forum Bangun Aceh menjadi fasilitaor bagi keberlangsungan livelihood penyandang disabilitas agar terus produktif dan mengasah kemampuan yang dimilikinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, hasil menunjukkan bahwa sebagai lembaga sosial yang memiliki fokus untuk pengembangan masyarakat marjinal ke arah yang lebih menjamin, penyediaan sarana-prasarana yang diberikan dengan kebutuhan dan kondisi disabilitas. Di tengah kerancuan penyebutan disabilitas, orang dengan gangguan jiwa juga dapat dikategorikan sebagai disabilitas. Terlebih lagi cara penanganan penanganan yang dilakukan terhadap disabilitas fisik dan non-fisik tidak dibedakan. Pada kajian ilmu teologi, penyandang disabilitas adalah kelompok masyarakat yang harus diterima dalam kehidupan sosial tanpa label dan perbedaan secara fisik maupun secara mental. Namun nyatanya para difabel samapi saat ini terus mendapatkan labelling yang tidak baik dan tidak berubah darai masa kemasa di mana masyarakat menganggap kelompok diabilitas hidupnya sangat tergantung pada manusia dengan kondisi fisik yang normal dan tidak mandiri, dan bakat yang mereka miliki seringkali terabaikan karena tidak memiliki ruang dan tempat dalam kehidupan masyarakat. tak jarang menemukan para disabilitas yang putus asa memilih menjadi pengemis. Baik disabilitas fisik maupun non-fisik dari masa-kemasa akan terus mendapatkan perlakuan diskriminasi dari masyarakat baik dilakuan secara sadar maupun secara tidak sadar. Pembekalan, perhatian dan pemahaman akan diri disabilitas masih sangat perlu di tinggkatkan lagi bagi masyarakat sosial agar memahami konsep dan arti diri disabilitas yang sesungguhnya.