Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kedudukan fatwa DSN-MUI yang mengalami transformasi yang awalnya sebagai legal opinion menjadi legal binding, sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat. Secara tidak langsung, substansi fatwa diadopsi oleh peraturan perundang-undangan. Namun, apakah substansi fatwa mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah juga diadopsi oleh peraturan perundang-undangan atau fatwa yang mengadopsi peraturan perundang-undangan. Maka dari itu, penelitian ini akan memaparkan penyelesaian sengketa ekonomi syariah menurut fatwa DSN-MUI. Dengan menggunakan metode deskriptif kepustakaan melalui pendekatan yuridis normatif, penelitian ini mengungkapkan fakta bahwa dalam substansi penyelesaian sengketa ekonomi syariah, DSN-MUI mengadopsi peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada sebuah lembaga untuk memeriksa dan memutus perkara ekonomi syariah. Sehingga memberikan pilihan penyelesaian sengketa yang beragam dengan memposisikan jalur musyawarah mufakat sebagai jalur penyelesaian sengketa utama yang harus ditempuh terlebih dahulu sebagai ciri khasnya, sebelum para pihak memilih jalur penyelesaian sengketa yang lain. (This research is motivated by the position of the DSN-MUI fatwa which underwent a transformation which was originally a legal opinion to become legal binding, so that it has binding legal force. Indirectly, the substance of the fatwa is adopted by legislation. However, whether the substance of the fatwa regarding the settlement of sharia economic disputes is also adopted by laws and regulations or the fatwa that adopts laws and regulations. Therefore, this study will describe the settlement of sharia economic disputes according to the DSN-MUI fatwa. By using the descriptive literature method through a normative juridical approach, this study reveals the fact that in the substance of sharia economic dispute resolution, DSN-MUI adopts laws and regulations that authorize an institution to examine and decide on sharia economic cases. Thus providing various dispute resolution options by positioning the deliberation and consensus path as the main dispute resolution path that must be taken first as a characteristic, before the parties choose another dispute resolution path.)