Artikel ini menelaah empat lakon sandiwara tentang Perang Padri karya Wisran Hadi. Empat lakon ini ("Perguruan", "Perburuan", "Pengakuan" dan "Penyeberangan") berbicara tentang suatu periode penting (lagi krisis) dalam sejarah Minangkabau, ketika pertentangan adat, agama, dan kolonialisme barat berkecamuk hebat. Menggunakan pendekatan neo-historisisme, artikel ini melihat gagasan-gagasan Islam moderat yang diusung pengarangnya dalam representasi tentang tokoh-tokoh Padri yang ditampilkan pada keempat lakon tersebut dan faktor-faktor yang membuat berbagai representasi itu mengemuka. Menjawabnya sekaligus akan memperlihatkan wacana keislaman yang diketengahkan penulisnya sekaligus dapat menemukan relasi antara teks sastra dan ruang penciptaannya. Dari hasil pengkajian ditemukan bahwa keempat lakon merupakan representasi Wisran atas empat tokoh utama Padri: Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Sembahyang. Representasi Wisran atas mereka tampak punya garis yang sewarna: representasi Padri yang korektif dan evaluatif atas keradikalan gerakan yang dicetuskan dari dan oleh kalangan mereka sendiri. Di tengah bangkitnya radikalisme agama dan kekerasan atas nama Tuhan, Wisran memenangkan akalsehat, kewajaran, dan kepatutan sebagai puncak dari praktik menuju kebenaran. Yang dimenangkannya, dalam konteks ini, adalah suara tokoh-tokoh Padri yang moderat dalam menawarkan jalan-jalan akomodatif untuk mengubah masyarakat, sementara suara-suara yang menginginkan perubahan cepat dengan gerakan kekerasan sebagai pilihan dibuatnya acap tidak berdaya di hadapan suara-suara yang pertama. Suara-suara radikal mengakui kekeliruan dari kekerasan tindakan mereka dan "menyerah" bersalah di hadapan suara-suara yang lebih moderat. Representasi itu terhubung dengan latar sosial dan politik (semangat zaman) ketika keempat lakon itu ditulis dan terhubung pula dengan latar belakang pengarangnya secara biografis.