Artikel ini membahas bagaimana media sosial melibatkan individu dalam tindakan komunikatif untuk menciptakan ranah publik dan demokrasi partisipatif, serta bagaimana deviasi interpretasi terjadi di tengah masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan data yang berasal dari media online dan media sosial. Data dipilih berdasarkan beberapa kategori, termasuk konten berita dari pemerintah, tanggapan dari tokoh publik yang mencakup tokoh agama, politik, dan masyarakat, serta deviasi interpretasi yang terjadi di media sosial. Beberapa temuan penelitian ini antara lain: pertama, sejak 1966, Keputusan Bersama (SKB) telah menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan yang bersifat lintas sektoral. Keberadaan SKB diharapkan menjadi solusi atas berbagai konflik antar atau intern agama. SKB Tiga Menteri juga menjadi bukti komitmen pemerintah untuk membangun moderasi dan toleransi beragama di dunia pendidikan. Namun, di era modern ini, sulit untuk menafikan peran media sosial dalam membentuk pemahaman publik. Beberapa temuan menjadi dasar terjadinya deviasi interpretasi di ranah publik, khususnya di media sosial. Pertama, di tengah menguatnya politisasi agama di Indonesia, kebijakan SKB rentan digunakan oleh pihak tertentu untuk melegitimasi opini publik tentang posisi mayoritas dan minoritas. Kedua, perumusan formulasi SKB sebanyak mungkin menyertakan beberapa kasus, sehingga tidak timbul kecurigaan dari komunitas mayoritas atas keberpihakan pemerintah. Ketiga, dalam perumusan kebijakan, utamanya berkenaan dengan dunia pendidikan yang menjadi hajat orang banyak, pembangunan opini publik menjadi tolak ukur efektivitas sebuah kebijakan