Demam tifoid atau yang dikenal dengan demam enterik merupakan penyakit infeksi sistemik yang berpotensi fatal yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica typhi (S.typhy). Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid. Indonesia memilki insiden yang cukup tinggi dengan jumlah kasus yang terus meningkat. Diperkirakan mortalitas dari kasus demam tifoid di Indonesia antara 0,6% sampai 2%. Antibiotika merupakan terapi utama untuk penanganan pasien demam tifoid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola penggunaan antibiotika pada dewasa dengan demam tifoid di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2016-2017. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan metode cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Sampel diambil dari rekam medis pasien dewasa dengan demam tifoid yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2016-2017. Teknik pemilihan subjek menggunakan total sampling. Subjek merupakan pasien dewasa dengan demam tifoid yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar. Total sampel yang diperoleh sebanyak 55 pasien dewasa dengan demam tifoid. Golongan antibiotika yang digunakan di RSUP Sanglah adalah ampisilin, sefalosporin generasi ketiga, fluorokuinolon, dan azitromisin. Jenis antibiotika yang digunakan seperti ampisilin, seftriakson, sefiksim, levofloxacin, dan azitromisin. Dapat disimpulkan bahwa antibiotika yang digunakan di RSUP Sanglah Denpasar adalah jenis levofloxacin (45,5%) dari golongan fluorokuinolon dengan rute pemberian di rumah sakit secara intravena dan diberikan selama 3-7 hari. Kata kunci : Demam tifoid, Antibiotika, RSUP
Many conotoxins, natural peptides of marine cone snails, have been identified to target neurons. Here, we provide data on pharmacological families of the conotoxins of 11 species of cone snails collected in Bali. The identified definitive pharmacological families possibly targeting neuronal tissues were α (alpha), ι (iota), κ (kappa), and ρ (rho). These classes shall target nicotinic acetylcholine receptors, voltage-gated Na channels, voltage-gated K channels, and α1-adrenoceptors, respectively. The VI/VII-O3 conotoxins might be prospected as an inhibitor of N-methyl-d-aspartate. Con-ikot-ikot could be applied as an α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid receptor blocker medicine. The definitive pharmacology classes of conotoxins as well as those yet to be elucidated need to be further established and verified.
Caries that affects children under the age of 6 is known as early childhood caries (ECC). According to the American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD), ECC is defined as the presence of one or more teeth with caries (cavities or no cavities), missing teeth due to caries or the presence of restoration deciduous teeth in children under 71 months. If it occurred on the smooth surface of the tooth in children under 3 years of age, the disease is classified as severe early childhood caries (S-ECC). Streptococcus mutans plays important role in the etiology of caries of preschool children, which is a contagious pathological entity. The pathogen is an acidogenic and aciduric bacteria. The occurrence of caries is a complex process of interaction between host factors (teeth), microorganisms, substrates (carbohydrates) and the environment, including saliva. This mini review aims to summarize current findings on several markers of innate immune system related to ECC and S-ECC namely lysozyme, salivary lactoferrin, IL-8, CD36 of salivary neutrophils, and sCD14
Penatalaksanaan malaria seperti kloroquine dan Artemisin Combination Therapy dapat memberikan efek samping dan sudah mengalami resistensi sehingga diperlukan alternatif pengobatan lain. Metode penulisan ini menggunakan kajian pustaka dari sejumlah literatur valid dan relevan. Artemisinin pada tanaman Artemisia annua menghambat PfATPase6 sehingga membuat homeostasis Ca plasmodium terganggu dan menghambat pertumbuhan plasmodium. Enzim cysteine protease, inhibitor ALLN, Plasmepsin-2 serta Plasmepsin-1 berfungsi menghancurkan plasmodium pada fase trophozoite dan schizont dengan mendegradasi protein plasmodium. Flavonoid pada daun kelor (Moringa oliefera) meningkatkan produksi Hb dan mengoptimalkan kinerja artemisin. Kaempferol dan antioksidan lainnya pada daun kelor menghambat pertumbuhan plasmodium lewat jalur permeasi baru dengan menghambat pembentukan membrane saat fase intraeritrositik dan menghambat proses degradasi hemoglobin sehingga plasmodium tidak dapat berkembang. Kandungan daun kelor juga dapat memenuhi kebutuhan gizi per hari dan mengatasi malnutrisi. Kombinasi artemisia dan daun kelor berpotensi sebagai alternatif obat malaria akibat infeksi plasmodium falciparum karena kombinasi kedua zat tersebut terbukti lebih efektif menghambat plasmodium berghei pada hewan uji coba, meningkatkan sistem imun, serta memenuhi kebutuhan gizi dibandingkan penggunaan artemisin maupun daun kelor secara tunggal. Perlu penelitian lebih lanjut terkait hal tersebut.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.