The discourse and practices of corporate social responsibility continues to increase. Business entities are no longer only required to carry out corporate social responsibility activities but are urged to measure the impact of various CSR programs that have been carried out. Therefore, researchers are interested in conducting a study of the socio-economic impact on the company's CSR programs. This research was conducted in Yogyakarta, precisely the Kampungku Sehat: Kompak Maju’s program. The program is one of the CSR programs of PT Pertamina (Persero) DPPU Adisutjipto. This study used quantitative methods (surveys) and interviewed thirteen respondents. The results of the study concluded that the Kampungku Sehat: Kompak Maju’s program has “good” level and feasibility with an index value of 2.97 and a value conversion of 74.21%. This indicates that the program is successful with minor improvements or adjustment and allows it to be continued and disseminated as a best practice for other business entities. Diskursus dan praktik corporate social responsibility (CSR) terus mengalami peningkatan. Perusahaan tidak lagi hanya dituntut untuk melakukan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan saja, melainkan didesak untuk melakukan pengukuran dampak terhadap berbagai program CSR yang telah dilakukan. Oleh karena demikian peneliti tertarik untuk melakukan kajian dampak sosial ekonomi terhadap program-program CSR perusahaan. Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta, tepatnya program Kampungku Sehat: Kompak Maju. Program tersebut merupakan salah satu program CSR PT Pertamina (Persero) DPPU Adisutjipto. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif (suvei), dan mewawancarai tiga belas responden yang merupakan seluruh penerima manfaat program. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa program pemberdayaan Kampungku Sehat: Kompak Maju memiliki feasibilitas yang baik dengan nilai indeks 2.97 dan konversi nilai 74.21%. Hal tersebut menandakan bahwa program berhasil dengan sedikit perbaikan dan memungkinkan untuk dilanjutkan serta disebarluaskan sebagai sebuah best practices permberdayaan berbasis komunitas.
Pemilu serentak tahun 2024 mendatangkan sebuah fenomena baru dalam mekanisme pemerintahan di Indonesia, khususnya pemerintahan daerah, yakni terdapatnya 271 kekosongan kepala daerah sebab habisnya masa jabatan. Sebagai langkah mengatasi permasalahan tersebut maka pemerintahan pusat, melalui Kemendagri melakukan penunjukan pejabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan tersebut. Namun, penunjukan oleh Kemendagri rupanya mendapat pertentangan dari masyarakat akibat mekanisme yang tidak jelas. Pejabat yang ditunjuk juga tidak sesuai dengan ketentuan dan ketetapan putusan MK hingga potensi-potensi penumpang gelap berupa kepentingan politik dalam penunjukan tersebut. Padahal saat ini penunjukan baru terjadi pada beberapa daerah yang sudah memasuki akhir masa jabatan kepala daerah, dimana mayoritas daerah tersebut merupakan kawasan dengan potensi konflik yang tidak tinggi tetapi hal tersebut sudah mendatangkan gejala konflik. Sesungguhnya dinamika apa yang akan terjadi di daerah dampak dari berlakukanya pemilu serentak 2024 tersebut? Lalu apakah yang akan terjadi jika penunjukan tersebut dilakukan pada daerah yang memiliki latar sebagai kawasan rawan konflik? Potensi dinamika apa saja yang akan hadir menyertainya? Oleh sebab itu, dalam menganalisis dinamika yang akan terjadi sebab pemilu serentak 2024 dan dampaknya terhadap daerah rawan konflik jika penunjukan pejabat daerah dilakukan maka digunakanlah pendekatan konflik, demokrasi dan primordialisme. Pengunaan pendekatan ini memudahkan kita untuk menganalisa bagaimana proses dan latar belakang sebuah konflik serta kemudian mengkelompokan aktor-aktor dalam konlfik. Pada akhirnya kita dapat melihat bagaimana aktor yang terlibat dalam konflik sebagai penguasa politik membentuk isu-isu politik dan primordial untuk mempermudah perjuangan mereka dalam mempertahankan kekuasaan politiknya. Kita dapat juga melihat bagaimana pengabungan isu-isu politik dan primordialisme sebagai sebuah bahan baku solidaritas politik sebagai bentuk tekanan politik dan potensi dampak dari pengabungan isu tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
This article aims to examine the lens of the 'Unrecognized Statehood' concept in the case of Taiwan's legitimacy as a sovereign state. The study found: (1) the dualism of government determined by the competition of the number of people in favor, (2) China's victory in the civil war between the PRC and the ROC that resulted in effective geographical control of the territory in Beijing government, and (3) the recognition of international countries to the Beijing government as a de jure and de facto representation of "China" by 15 countries alone that recognize the Taipei government. It argues that Taiwan categorised as an "unrecognised state" has successfully created their "own" characteristic of sovereignty even with a small number of foreign state recognition. This research uses qualitative-explanatory methods to answer how the concept of unrecognised statehood is interpreted based on the case of China-Taiwan dispute. It analyses existing secondary data with case studies. The research concluded that the national character by Taiwan's government in the international arena is politically identified as a tangible defiance of China's established sovereignty.
ASEAN currently facing a real strive to deal with their own internal humanitarian and peace stability related to the case of Myanmar conflict. This condition has put other ASEAN members in quandary to conduct a prompt and precise solution to bring back peace in Myanmar. This article examines the potential crack in the “ASEAN way” principle which is related to the various conflicts inside the region. Moreover, it also endorsed two possible proposals which can be considered to strengthen the role of ASEAN to take action towards their member states. The latest conflict inside Myanmar between military and democratic groups showed the warning sign that something is not working well within the system of ASEAN as a regional organization. This article investigates the potential crack that ASEAN has in their basic principle which harms the future peace stability within the region. The writer argues that the conflict in Myanmar has become a symptom that ASEAN must revisit their basic principle and reorganize their strategy to deal with potential conflict that might occur in the future.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.