Mangrove merupakan ekosistem kompleks yang hidup di daerah pasang surut. Ekosistem mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin juga sebagai habitat berbagai organisme seperti krustasea. Salah satu krustasea yang memiliki peran penting di ekosistem mangrove adalah kepiting biola (Uca spp.) sebagai detritus di ekosistem mangrove. Pulau Enggano merupakan pulau kecil terluar Provinsi Bengkulu, keadaan ekosistem mangrovenya masih tergolong alami. Salah satu desa yang memiliki vegetasi mangrove yang alami adalah Desa Kahyapu. Tetapi penelitian tentang Uca spp. di Pulau Enggano khususnya di Desa Kahyapu belum pernah dilakukan. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis kepiting biola dan menganalisis struktur komunitas kepiting biola di Desa Kahyapu Pulau Enggano. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan menggunakan teknik observasi langsung pada 3 stasiun, dimana setiap stasiun terdiri dari 11 plot. Dari hasil penelitian didapatkan 4 jenis kepiting biola (Uca spp.) yaitu Uca vocans, Uca chlorophthalmus, Uca dussumeiri, dan Uca coarctata. Kelimpahan jenis kepiting biola (Uca spp.) yang paling tinggi pada stasiun I. Kelimpahan total tertinggi terdapat pada stasiun I dan diikuti stasiun III, terendah pada stasiun II. Tingginya kelimpahan pada stasiun I diduga karena substrat liat yang cocok untuk kehidupan kepiting biola. Secara umum Uca dussumieri paling banyak ditemukan di tiga stasiun karena toleransinya yang tinggi . Indeks keseragaman kepiting biola (Uca spp.) seluruh stasiun tinggi sedangkan indeks keanekaragamannya rendah. Pada stasiun I dan II mempunyai indeks dominansi rendah, sedangkan pada stasiun III mempunai indeks dominansi sedang. Secara umum, kualitas perairan (suhu, pH, salinitas, kandungan bahan organik, dan substrat) di lokasi penelitian cocok untuk kehidupan Uca spp.
Genetik menjadi kunci konservasi karena berperan penting dalam mempertahankan dan memulihkan populasi dari kerusakan. Kerusakan pada ekosistem terumbu karang dapat menjadi pemicu kepunahan organisme laut. Salah satu organisme yang tidak terhindar dari kerusakan tersebut ialah Sarcophyton trocheliophorum. Kerusakan tersebut dapat menyebabkan menurunnya keragaman genetik S. trocheliophorum. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keanekaragaman genetik dari S. trocheliophorum yang terdapat pada tiga populasi di Perairan Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara serta mendeskripsikan implikasinya terhadap kawasan konservasi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan penanda genetik ND2 untuk menganalisis struktur populasi, konektivitas, dan keragaman genetik. Keragaman genetik S. trocheliophorum pada Perairan Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara masing-masing 0.600, 0.815, dan 0.972. Keragaman genetik pada populasi Perairan Jawa lebih kecil dibandingkan pada Populasi Perairan Sulawesi dan Nusa Tenggara. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya aktivitas manusia pada pesisir utara Laut Jawa, sehingga berdampak pada menurunnya ukuran populasi S. trocheliophorum. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan yang ketat pada populasi Jawa untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
The genetic connectivity of soft coral is influenced by current and distance between islands. The complexity of islands and geographical region in Indonesia might influence the distribution of soft corals. The information of genetic connectivity can be used to design marine protected areas and to avoid destruction and possible extinction. The objective of the present study was to analyze genetic connectivity of one species of soft coral, Sarcophyton trocheliophorum, in three populations spanning Java, Nusa Tenggara, and Sulawesi's waters, and to describe its implication for marine protected area. The mitochondrial protein-coding gene (750 bp of ND2) was used to analyze genetic population structure and genetic connectivity. Genetic connectivity was found in all populations with Fst value of 0.227 to 0.558, indicating populations had the close genetic relationship. The local and Indonesian currents were expected to distribute the larva to islands as a stepping stone, they moved slowly to spread them self far away. Tanakeke island (Sulawesi population) might be a center connectivity of S. trocheliophorum populations. This island connected with islands in west and east Indonesia, therefore that area need to protect.
Grouper is one of the most economically important fishes with various morphological forms and characteristics, meaning it is often difficult to identify species and distinguish between life stages, sometimes leading to morphological misidentification. Therefore, identification using a molecular deoxyribose nucleic acid (DNA) approach was needed as an alternative means to identify closely related species. This study aims to determine the molecular phylogeny of grouper from the northern part of the Bird's Head Seascape of Papua. The DNA sequence of each cytochrome oxidase I (COI) gene was used to study the molecular relationship among closely related species of grouper. The results showed that there were 16 Epinephelinae that have been compared to a gene bank (National Centre for Biotechnology Information, NCBI) in the sequence length of 623 base pairs. The closest genetic distance was found between Cephalopholis miniata and Cephalopholis sexmaculata (0.036), while the furthest genetic distance was observed between Plectropomus laevis and Cephalopholis spiloparaea (0.247). This finding was further reinforced by the morphological characters of each species. This finding highlighted that five genera were represented as a monophyletic group (clade), i.e., Epinephelus, Cephalopholis, Plectropomus, Saloptia and Variola.
Fitoplankton merupakan salah satu bioindikator untuk memantau tingkat pencemaran suatu perairan. Tingkat pencemaran ditentukan berdasarkan indeks saprobitas melalui analisis komposisi dan kelimpahan fitoplankton. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2017 di Perairan Muara Sungai Hitam, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu dengan menggunakan metode survei. Jenis fitoplankton yang diperoleh dari hasil penelitian terdiri dari 4 kelas dan 22 spesies dengan komposisi spesies terbanyak terjadi pada kelas Bacillariophyceae dan yang terendah terjadi pada kelompok fitoplankton kelas Dinophyceae. Rata-rata kelimpahan fitoplankton pada muara Sungai Hitam sebanyak 322 ind/L tergolong dalam kelimpahan rendah, yang mecerminkan kesuburan perairan yang rendah. Berdasarkan nilai indeks saprobitas yang didapati perairan muara Sungai Hitam tergolong dalam tingkat saprobitas perairan ?-Meso/Oligo saprobik, yang diindikasikan telah terjadi pencemaran bahan organik ringan.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.