<p>Bawang merah umumnya diperbanyak secara vegetatif menggunakan umbi. Bibit unggul bawang merah ditentukan<br />antara lain oleh status kesehatan benihnya termasuk bebas dari infeksi virus. Penyakit yang disebabkan oleh virus yang bersifat<br />tular umbi merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan produksi bawang merah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui<br />jenis-jenis virus terbawa umbi pada beberapa varietas bawang merah yang berasal dari Jawa Tengah (Brebes) dan Jawa Barat<br />(Cirebon, Kuningan, Majalengka, Bandung), yaitu Bima Curut, Bima Brebes, Sumenep, Jawa, Batu Merah, Batu Putih, Nganjuk,<br />Timur Carwan, Ilokos, dan Jalaksana. Deteksi virus dilakukan dengan metode dot immuno binding assay (DIBA) menggunakan<br />antibodi spesifik. Deteksi virus pada umbi bawang dilakukan dengan dua teknik, yaitu deteksi langsung dari umbi dan deteksi daun<br />muda yang diambil dari umbi yang ditumbuhkan selama 30 hari. Hasil deteksi menunjukkan adanya infeksi onion yellow dwarf<br />virus (OYDV), shallot latent virus (SLV), dan garlic common latent virus (GCLV) dengan infeksi tertinggi OYDV dan SLV. Infeksi <br />virus lebih banyak terdeteksi dari sampel daun muda dibandingkan dengan dari sampel umbi. Infeksi virus tertinggi ditemukan pada <br />sampel umbi varietas Nganjuk, Batu Putih, Jawa, dan Sumenep asal Majalengka, Kuningan, dan Bandung.</p>
Penyakit virus tular umbi merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan produksi bawang merah. Hal ini disebabkan oleh virus yang infeksinya bersifat sistemik. Apabila partikel virus berada dalam jaringan benih umbi, maka akan sulit untuk dikendalikan dan dapat membawa masalah baru pada pertanaman berikutnya. Penelitian bertujuan mengetahui insiden penyakit virus tular umbi pada 13 varietas bawang merah yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan di Rancaekek (elevasi 650 m dpl.) dan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang (elevasi 1.250 m dpl.), sejak bulan Agustus sampai November 2004. Perlakuan terdiri atas 13 varietas bawang merah, yaitu: Lodra, Sumenep, Batu, Merah Maja, Merah Cigugur, Ciniru, Bima, Bima Curut, Bima Timor, Bima Arjuna, Kuning Tablet, Kuning Gombong, dan Philipina. Rancangan yang digunakan ialah acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) insiden penyakit virus tular umbi pada masing-masing varietas bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa Tengah berturut-turut yaitu varietas Lodra 84,67%, Sumenep 82,56-100%, Batu 39,86-78,67%, Merah Maja 95,25%, Merah Cigugur 100%, Ciniru 66,27%, Bima Curut 78,57%, Bima 100%, Bima Timor 57,98%, Bima Arjuna 47,96%, Kuning Tablet 57,48%, Kuning Gombong 97,92%, dan Philipina 97,92 %, (2) gejala infeksi virus pada daun umumnya berupa klorosis, mosaik bergaris kuning vertikal terputus-putus, garis-garis hijau vertikal, dan ukuran daun menjadi kecil, (3) gejala-gejala tersebut bereaksi positif dengan OYDV(onion yellow dwarf virus) dan SYSV (shallot yellow stripe virus) berdasarkan uji DAS-ELISA (double antibody sandwich-enzyme linked immunosorbent assay). Informasi mengenai insiden virus tular umbi pada bawang merah ini sangat penting dalam rangka mengembangkan metode perbenihan bawang merah bebas virus. <br /><br />Virus disease is one of major problems in increasing shallots production, because its infection has a systemic character. If it is already in shallots bulb tissues, the virus is difficult to be controlled and will cause new problems to the next planting. The experiment was aimed to determine incidence of bulb-borne virus diseases on thirteen varieties of shallots (Allium cepa var. ascalonicum) originated from West and Central Java. The experiment was carried out at Indonesian Vegetable Research Institute Lembang (1,250 m asl.) and Rancaekek (650 m asl.), from August to November 2004. The shallot varieties tested were Lodra, Sumenep, Batu, Merah Maja, Merah Cigugur, Ciniru, Bima, Bima Curut, Bima Timor, Bima Arjuna, Kuning Tablet, Kuning Gombong, and Philipina. A randomized complete block design with three replications were used in this experiment. The results of the experiment showed that (1) incidence of virus diseases in shallots bulb on variety Lodra was 84.67%, Sumenep 82.56-100%, Batu 39.86-78.67%, Merah Maja 95.25%, Merah Cigugur 100%, Ciniru 66.27%, Bima Curut 78.57%, Bima 100%, Bima Timor 57.98%, Bima Arjuna 47.96%, Kuning Tablet 57.48%, Kuning Gombong 97.92%, and Philipina 97.92 %, (2) the virus symptoms exhibited on infected shallots were yellow stripe mosaic, chlorosis, green stripe leaf, and leaves became small, and (3) the symptoms were associated with OYDV (onion yellow dwarf virus) and SYSV (shallots yellow stripe virus) base on DAS-ELISA (double antibody sandwich-enzyme linked immunosorbent assay). Information on the incidence of viral diseases on shallots bulb is very important to develop the production technology of virus-free shallots bulb.<br /><br /><br />
ABSTRAKCabai merupakan salah satu komoditas sayuran yang erat dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Keberhasilan produksi cabai yang berkualitas ditentukan oleh bibit berkualitas. Salah satu upaya pemeliharaan untuk mendapatkan bibit yang berkualitas yaitu dengan pemberian pupuk tambahan. Pupuk yang dapat digunakan yaitu NPK dan pupuk daun. Tujuan penelitian untuk mengetahui dosis pupuk NPK yang menghasilkan pertumbuhan bibit cabai terbaik, mengetahui frekuensi aplikasi plant catalyst yang menghasilkan pertumbuhan bibit cabai terbaik, dan mengetahui interaksi antara dosis pupuk NPK dan frekuensi aplikasi plant catalyst pada pertumbuhan bibit cabai keriting. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sumberejo Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2015. Penelitian menggunakan rancangan perlakuan secara faktorial (4 x 3) dalam rancangan kelompok teracak sempurna. Dosis pupuk NPK mutiara N0 (tanpa pemupukan), N1 (0,6 g per tanaman), N2 (1,2 g per tanaman), dan N3 (1,8 g per tanaman). Frekuensi pemberian plant catalyst dengan tiga taraf waktu, P0 (tanpa plant catalyst), P1 (satu kali per minggu), P2 (dua kali per minggu) dengan konsentrasi 1,5 g per liter. Bibit dikelompokkan berdasarkan ukuran besar, sedang, dan kecil. Data diolah dengan analisis ragam dan respons pertumbuhan bibit terhadap perlakuan dilihat melalui uji BNT pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis pupuk NPK 0,6 g per tanaman merupakan dosis paling efisien untuk diberikan terhadap persemaian bibit cabai keriting, pemberian pupuk daun tidak efisien jika diberikan pada persemaian bibit cabai keriting, terdapat interaksi antara dosis NPK dan aplikasi plant catalyst pada diameter batang pada dosis pupuk NPK 0,6 g per tanaman dengan tanpa aplikasi plant catalyst dan bobot basah bibit cabai keriting pada dosis pupuk NPK 0,6 g per tanaman dengan aplikasi plant catalyst 1 kali per minggu. Kelompok bibit dengan ukuran besar sebagai bahan tanam menunjukkan pertumbuhan yang paling baik.Kata kunci: Bibit, cabai, NPK, plant catalyst PENDAHULUANKomoditas cabai (Capsicum annuum L.) selain dikonsumsi sehari-hari sebagai bahan tambahan pada makanan, berkembangnya industri pengolahan makanan kini banyak yang menggunakan cabai sebagai bahan baku utama. Oleh karena itu cabai menjadi komoditas sayuran unggul bernilai ekonomis tinggi. Produktivitas cabai meningkat cukup cepat, namun pada saat ini dapat dikatakan masih relatif rendah yaitu 0,20-0,33 kg per pohon atau 6,84 ton per ha cabai basah dimana produktivitas optimal cabai keriting dapat mencapai 13-17 ton/ha (Direktorat Pangan dan Pertanian, 2014).
Pengendalian penyakit virus kuning keriting telah dilakukan dengan pengendalian populasi vektornya menggunakan insektisida. Namun cara ini kurang praktis, mahal, tidak efektif, dan mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, manusia, dan sumber daya hayati. Sejauh ini belum ada tanaman cabai yang resisten terhadap penyakit virus kuning keriting (tidak adanya sumber gen tahan), maka perlu dibangun suatu cara untuk mengaktifkan gen pertahanan dari tanaman itu sendiri. Tujuan penelitian adalah mendapatkan ekstrak tanaman yang paling baik pengaruhnya dalam memicu keaktifan gen pertahanan dan kandungan biokimia tanaman cabai yang menyebabkan sifat tahan. Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran pada ketinggian 1.250 m dpl. pada bulan Mei sampai dengan Desember 2012. Tahapan penelitian meliputi (1) penentuan empat inducer terpilih, (2) pengujian ELISA, (3) analisis kandungan protein, dan (4) pengujian kandungan asam salisilat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) diperoleh dua jenis tanaman yang berpotensi sebagai bahan penginduksi resistensi tanaman cabai merah terhadap penyakit virus kuning keriting yaitu tanaman pagoda (Clerodendrum japonicum Thunb.) dan tapak dara (Catharanthus roseus L.), (2) hasil analisis protein menunjukkan bahwa ekspresi pola pita protein tanaman yang diberi inducer lebih tebal 1,5 kali dibandingkan tanaman yang terinfeksi penyakit virus kuning keriting, dan (3) kandungan asam salisilat pada tanaman cabai merah yang diberi inducer ekstrak tanaman pagoda dan tapak dara lebih tinggi 53,99 – 134,38% dibandingkan tanaman yang terinfeksi penyakit virus kuning keriting.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.