Orong-orong atau anjing tanah (<em>Gryllotalpa hirsuta</em>) merupakan salah satu organisme pengganggu tumbuhan (OPT) penting pada tanaman kentang yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi kentang. Sampai saat ini upaya pengendalian masih bergantung pada penggunaan insektisida yang mempunyai spektrum lebar (<em>broad spectrum</em>) salah satunya adalah karbofuran. Penggunaan insektisida karbofuran yang intensif dapat mengurangi populasi musuh alami di lapangan. Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan insektisida karbofuran terhadap kerusakan dan kehilangan hasil kentang akibat serangan hama <em>G. hirsuta</em> dan dampaknya terhadap keanekaragaman Artropoda tanah. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang pada dua musim tanam yaitu musim kemarau (2012) dan musim penghujan (2013). Penelitian menggunakan rancangan petak berpasangan (<em>paired treatments</em>) terdiri atas dua perlakuan yaitu petak yang diaplikasikan dengan menggunakan karbofuran (30 kg/ha) dan tanpa perlakuan. Tiap perlakuan diulang lima kali. Keanekaragaman Artropoda tanah diamati dengan menggunakan <em>pitfall trap</em>. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan <em>G. hirsuta</em> pada tanaman kentang di musim kemarau dan musim penghujan dapat mengakibatkan kehilangan hasil masing-masing sebesar 22,42% dan 12,07%. Penggunaan insektisida karbofuran mampu menekan kerusakan umbi kentang sebesar 56,79–58,38%. Namun demikian, penggunaan insektisida karbofuran dapat mengurangi kelimpahan populasi Artropoda tanah sebesar 30,67–34,32%. Indeks keragaman Artropoda tanah pada komunitas kentang di Lembang sangat rendah dengan nilai H’ = 0,698 dan H’ = 0,647. Kelimpahan predator seperti laba-laba sangat dipengaruhi oleh penggunaan insektisida karbofuran. Oleh sebab itu aplikasi karbofuran harus dikurangi untuk melestarikan keberadaan predator pada komunitas kentang
Hama ulat bawang <em>Spodoptera exigua</em> (Lepidoptera: Noctuidae) adalah salah satu hama penting pada tanaman bawang di Indonesia. Jamur entomopatogen terutama <em>Metarhizium anisopliae</em> telah banyak digunakan untuk mengendalikan hama serangga. Efektivitas jamur entomopatogen, <em>M. anisopliae</em> bila diaplikasikan secara tunggal untuk pengendalian hama hasilnya belum memuaskan. Namun apabila jamur entomopatogen <em>M. anisopliae</em> dicampurkan dengan insektisida kimia untuk mengendalikan hama memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan penelitian untuk mengetahui sinergisme campuran jamur entomopatogen, <em>M. anisopliae </em>dengan insektisida kimia terhadap mortalitas larva <em>S. exigua </em>instar 3 di laboratorium. Percobaan dilaksanakan di laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang ( ± 1.250 m dpl.), mulai bulan Juni sampai Oktober 2014. Larva <em>S. exigua </em>dikumpulkan dari pertanaman petani bawang merah di daerah Cirebon Jawa Barat dan diperbanyak di Rumah kasa Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap kegiatan yaitu (1) uji pendahuluan dosis jamur <em>M. anisopliae</em> dan dosis insektisida kimia dan (2) uji campuran jamur <em>M. anisopliae</em> dengan dosis sublethal insektisida kimia. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang terdiri atas enam perlakuan dan empat ulangan. Penelitian menggunakan metode pencelupan. Mortalitas larva <em>S. exigua </em>diamati mulai 24 jam sampai dengan 168 jam setelah perlakuan. Data mortalitas larva diolah menggunakan analisis probit untuk menetapkan nilai LC50. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai LC 50 insektisida kimia yang terendah diperoleh dari insektisida Abamektin yaitu 482, 34 ppm dan yang teringgi diperoleh dari jamur <em>M. anisopliae</em> yaitu 1.189, 83 ppm. Berdasarkan nilai LC50 campuran insektisida, campuran jamur <em>M. anisopliae</em> dengan insektisida <em>abamektin</em> menunjukkan efektivitas sinergistik dan meningkatkan efikasi 24,45 kali lipat jika dibandingkan dengan jamur <em>M. anisopliae</em> secara tunggal. Kombinasi jamur entomopatogen dengan insektisida konsentrasi <em>sublethal</em> dapat meningkatkan kemampuan jamur entomopatogen dalam mengendalikan <em>S. exigua</em> dan sehingga dapat memperlambat terjadinya resistensi insektisida.
Pengendalian penyakit virus kuning keriting telah dilakukan dengan pengendalian populasi vektornya menggunakan insektisida. Namun cara ini kurang praktis, mahal, tidak efektif, dan mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, manusia, dan sumber daya hayati. Sejauh ini belum ada tanaman cabai yang resisten terhadap penyakit virus kuning keriting (tidak adanya sumber gen tahan), maka perlu dibangun suatu cara untuk mengaktifkan gen pertahanan dari tanaman itu sendiri. Tujuan penelitian adalah mendapatkan ekstrak tanaman yang paling baik pengaruhnya dalam memicu keaktifan gen pertahanan dan kandungan biokimia tanaman cabai yang menyebabkan sifat tahan. Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran pada ketinggian 1.250 m dpl. pada bulan Mei sampai dengan Desember 2012. Tahapan penelitian meliputi (1) penentuan empat inducer terpilih, (2) pengujian ELISA, (3) analisis kandungan protein, dan (4) pengujian kandungan asam salisilat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) diperoleh dua jenis tanaman yang berpotensi sebagai bahan penginduksi resistensi tanaman cabai merah terhadap penyakit virus kuning keriting yaitu tanaman pagoda (Clerodendrum japonicum Thunb.) dan tapak dara (Catharanthus roseus L.), (2) hasil analisis protein menunjukkan bahwa ekspresi pola pita protein tanaman yang diberi inducer lebih tebal 1,5 kali dibandingkan tanaman yang terinfeksi penyakit virus kuning keriting, dan (3) kandungan asam salisilat pada tanaman cabai merah yang diberi inducer ekstrak tanaman pagoda dan tapak dara lebih tinggi 53,99 – 134,38% dibandingkan tanaman yang terinfeksi penyakit virus kuning keriting.
<p>Pada 3 tahun terakhir ini serangan tungau Polyphagotarsonemus latus pada berbagai jenis Capsicum di berbagai sentra produksi semakin meningkat dengan intensitas serangan di atas 30%. Dalam bidang pertanian, sekitar 15.416 ton pestisida telah digunakan untuk tujuan proteksi tanaman, yang setiap tahunnya meningkat sekitar 7%. Tindakan ini dapat mengakibatkan inefisiensi produksi dan dampak negatif terhadap hama target, ekosistem, konsumen, serta risiko residu pestisida dalam produk ekspor. Pengendalian OPT ramah lingkungan akhir-akhir ini dikembangkan dalam usaha tani cabai untuk menekan penggunaan insektisida sintetis. Pemanfaatan pestisida nabati merupakan salah satu pilihan untuk menekan serangan tungau cabai P. latus yang ramah lingkungan. Sebanyak enam jenis tanaman yang berbeda diuji aktivitasnya untuk mengendalikan tungau P. latus . Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi bioaktivitas ekstrak tanaman untuk pengendalian hama tungau kuning cabai di laboratorium. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang dari bulan Oktober 2015 sampai Januari 2016. Metode yang digunakan adalah metode residu pada daun (leaf disc method) modifikasi IRAC no. 4 untuk tungau dan metode dry film atau film kering untuk predator M. sexmaculatus. Data mortalitas tungau diolah menggunakan analisis probit untuk menetapkan nilai LC50 dan LT50. Mortalitas tungau yang disebabkan oleh bioakarisida tanaman dihitung pada 1, 3, 6, 12, 24, dan 72 jam setelah perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LC50 bioakarisida yang berasal dari ekstrak akar tuba, huni, kirinyuh, widuri, ketapang dan gamal berturut-turut adalah 286,84; 370,57; 373,03; 477,92; 525,110; dan 650,44 ppm, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk mematikan 50% tungau dari ekstrak bioakasida tanaman berturut-turut adalah kirinyuh, akar tuba, huni, widuri, ketapang, dan gamal berturut-turut adalah 9,98; 9,99; 12,65; 20,01; 26,61; dan 42,77 jam. Hasil perhitungan nilai selectivity ratio (SR) menunjukkan bahwa semua jenis ekstrak tumbuhan sebagai bioakarisida yang diuji selektif terhadap predator M. sexmaculatus, hal ini disebabkan karena nilai SR <1. Kombinasi ekstrak bioakarisida tanaman selektif tersebut dengan pelepasan predator M. sexmaculatus merupakan komponen teknologi PHT yang dinilai efektif untuk mengendalikan hama tungau pada tanaman cabai. Untuk memantapkan hasil penelitian diperlukan uji lanjut di lapangan.</p><p>In the last 3 years P. latus severity on various types of Capsicum in some central production increased with the intensity above 30%. In agriculture, around 15,416 tonnes of pesticides have been used for plant protection purposes, which annually increased about 7%. This act can resulting inefficiency of production and the negative impact on the target pest, ecosystem, consumers, and the risk of pesticide residues in exported products . In the recent years, environmentally –friendly pest management is established to reduce the use of synthetic pesticides. Utilization of botanical pesticides is one option for environmentally friendly to suppress the attack of chili mite P. latus. Plants extracts of from six plant species were screened for contact toxicity and antifeedant activities against mite, P. latus. This study aims to determine the effectiveness of some plant extracts as bioacaricide for pest mite P. latus on chili plants. The experiments were conducted at the Laboratory of Pests and Diseases, Indonesian Vegetables Research, Lembang, West Java Province from October 2015 until January 2016. A modified leaf disc method describes by IRAC no. 4 was used for mites and for dry film method for or predators of M. sexmaculatus. Mite mortality was observed at 1, 3, 6, 12, 24, and 72 hour after treatment. The mortality of mite data was analyzed using probit to determine the LC50 and LT50 values. The result shows that LC50 obtained from plant bioacaricide of tuba root, kirinyuh, huni, widuri, ketapang, and gamal were 286.84, 370.57, 373.03, 477.92, 525.110 and 650.44 ppm respectively. Whereas LT50 obtained from plant bioacariside of kirinyuh, tuba root, huni, widuri, ketapang, and gamal were 9.98, 9.99, 12.65, 20.01, 26.61, and 42.77 hours respectively. The results of the calculation of the value of selectivity ratio (SR) shows that all plant extracts tested as bioacaricide were selective against predators M. sexmaculatus due to the value of SR <1. The combination of extract bioacaricide selective with inundative release of M. sexmaculatus adult to achieve sound of IPM mite in chili pepper. A field trial is still needed to confirm result of this study.</p>
<p>Penggunaan input produksi yang tinggi seperti pupuk dan pestisida pada budidaya cabai merah merupakan ancaman yang serius terhadap kesehatan dan lingkungan. Salah satu teknologi alternatif yang semakin sering dijajagi penerapannya adalah teknologi low external input technology (LEIT). Kelebihan teknologi LEIT adalah menggunakan bahan agro kimia secara benar, tepat waktu, dosis dan cara sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, air dan udara, produksi tetap tinggi, secara ekonomi menguntungkan dan aman untuk dikonsumsi. Beberapa teknologi yang dapat digunakan dalam teknologi LEIT di antaranya penggunaan kompos untuk mengurangi pupuk buatan, sistem polikultur, dan penutup tanah dengan kacang - kacangan. Tujuan penelitian adalah menghasilkan LEIT pada budidaya cabai merah dengan memanfaatkan sumber daya hayati (SDH) domestik yang dapat mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida sintetik serta ramah lingkungan mulai dari pengendalian input, pengendalian proses dan quality control. Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang dari bulan Maret sampai November 2014. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan sembilan perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diuji adalah kombinasi dari varietas, bahan organik dan NPK, sistem tanam dan pengendalian OPT serta teknologi konvensional sebagai pembanding. Hasil menunjukkan bahwa penerapan LEIT (30 ton kompos PKSTT, NPK 625 kg/ha, penggunaan ATECU berdasarkan ambang pengendalian, biopestisida BPP pegunungan pada saat berbunga dan tumpangsari antara cabai merah dan buncis tegak) memberikan hasil terbaik untuk budidaya cabai merah ramah lingkungan. Penerapan teknologi LEIT tersebut dapat menekan penggunaan pupuk NPK sebesar 37,5%, penggunaan pestisida 50 – 60%, produksi tetap tinggi (9,49 ton/ha), meningkatkan pendapatan 27,71%, aman terhadap predator M. sexmaculatus dan ramah lingkungan.</p><p><strong>Keywords</strong></p><p>Capsicum annuum; LEIT; Ramah lingkungan</p><p><strong>Abstract</strong></p><p>Chili pepper cultivation reliance on synthetic-chemical fertilizers and pesticides is having serious impacts on health and the environment. Low external input technology (LEIT) was one of technology which recently can be applied. It does not mean the elimination of these materials. Yields are maintained through greater emphasis on cultural practices, IPM, and utilization of on-farm resources and management such as legume cover crops, cropping system and compost can supply the total nitrogen requirements, biopesticide to reduce the use of the chemical pesticide. These technology reduced environmental degradation, maintain agricultural productivity, promote economic viability in both the short and long term and maintain stable rural communities and quality of life. The objectives were to produce LEIT on the chili pepper cultivation that using biological resources which can reduce the need for domestic fertilizers and synthetic pesticides safe for consumption and environmentally friendly from the input control, control process, and quality control. The goal of this experiment was to support the implementation of product safety and increase biodiversity, especially in useful life (parasitoids and predators). The research conducted at Indonesian Vegetables Research Institute, Lembang from March to November 2014. Randomized block design consisting of nine treatments and three replications was used. Organic materials, compost, NPK doses, cropping systems and the use of insecticides were used as treatments. The results showed that application of LEIT such as the use of compost 30 ton/ha, NPK 625 kg/ha, application of ATECU insecticide based on control threshold, application of mountain biopesticide at flowering and intercropping between chili pepper and bean were the best treatments for environmentally friendly of chili pepper cultivation. This technology was able suppress the use of NPK fertilizer at 37.5%, the use of pesticides 50-60%, production remains high (9.49 ton/ha), increase demand (27.71%), safe for M. sexmaculatus predator, and environmentally friendly.</p>
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.