Mitos air pancuran tujuh diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi oleh masyarakat Desa Cinunuk dan sekitarnya. Air pancuran tujuh ini dimaknai oleh masyarakat serta pengunjung bahwa air pancuran tujuh ini memiliki nilai kesakralan dan khasiatnya tersendiri. Masyarakat yang datang untuk mengunjungi air pancuran tujuh sangat beragam baik itu dilihat dari berbagai aspek. Masyarakat itu memiliki cara pandang yang berbeda-beda maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengemukakan makna yang terdapat pada khasiat mitos air pancuran tujuh, serta untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap mitos air pancuran tujuh ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa khasiat mitos air pancuran tujuh mempunyai makna tersendiri bagi para pengunjungnya seperti sebagai ucapan rasa syukur kepada yang maha kuasa, dalam agama islam ada tujuh tingkatan langit, merupakan peringatan hari kelahiran nabi Muhammad, merupakan air yang suci, serta untuk menjaga lingkungan. Pandangan masyarakat terhadap mitos air pancuran tujuh berbeda-beda diantaranya dapat menyembuhkan penyakit, memperlancar rezeki, penyucian benda pusaka, memperlancar usaha, kekuasaan Allah, sebagai suatu ikhtiar untuk mendapatkan jodoh, membersihkan kotoran di dalam diri, mengambil keberkahan, dan dijauhkan dari makhluk halus.
Desa Sindangpalay merupakan desa pertama yang dipilih untuk mendapatkan penyuluhan stunting oleh Puskesmas Karangpawitan, karena Desa tersebut memiliki angka stunting yang paling tinggi di Kecamatan Karangpawitan. Hal ini menjadi masalah urgen karena stunting dapat mempengaruhi seluruh pertumbuhan dan perkembangan pada anak sebagai penerus bangsa ini. Dalam upaya mencegah terjadinya stunting, Puskesmas Karangpawitan mengadakan sebuah kegiatan penyuluhan untuk menunjang perubahan wawasan masyarakat terkait pentingnya pencegahan stunting. Tujuan diadakan penyuluhan ini yaitu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya tumbuh kembang anak, meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penanganan dan pencegahan stunting pada anak sehingga dapat menurunkan presentase stunting di Desa Sindangpalay Kecamatan Karangpawitan. Metode pelaksanaan kegiatan penyuluhan ini berupa ceramah dengan menggunakan media power point yang dilakukan oleh dokter dan bidan Puskesmas Karangpawitan serta melakukan sesi tanya jawab. Metode evaluasi hasil penyuluhan dilaksanakan bersama pihak puskesmas dan desa melalui observasi dan wawancara kepada masyarakat terkait hasil penyuluhan yang diberikan kepada kader. Hasil dari kegiatan penyuluhan mengenai pencegahan stunting terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan kader mengenai stunting serta informasi yang telah didapatkan oleh kader tentang pencegahan dan penanganan stunting telah disebarluaskan kepada masyarakat.
Abstrak: Dalam UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 menyebutkan usia minimal untuk menikah yaitu 19 tahun baik laki-laki ataupun perempuan. Namun kenyataannya pernikahan dini masih banyak terjadi di kalangan masyarakat khususnya daerah Kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut. Pencegahan pernikahan dini perlu mendapat perhatian yang lebih besar dari semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama (KUA). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui strategi dan dampak kebijakan KUA dalam menekan angka pernikahan dini di Kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut. Metode yang digunakan yaitu kuliatatif dengan analisis deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan literature yang mendukung penelitian. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini bahwa strategi kebijakan KUA dalam menekan angka pernikahan dini di Kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut diantaranya yaitu sertifikat layak kawin, penyuluhan dan sosialisasi, pelayanan di bidang administrasi pencatatan nikah, dan bimbingan perkwinan. Dampak dari kebijakan KUA dalam menekan angka pernikahan dini di Kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut yaitu menikah siri, kumpul kebo, dan manipulasi identitas.Abstract: The Marriage Law Number 16 of 2019 states that the minimum age for marriage is 19 years for both men and women. However, child marriage still occurs in the community, especially in the Karangpawitan District, Garut Regency. Child marriage prevention needs greater attention from all parties, both the community and the government, in this case, the Office of Religious Affairs (KUA). This study aims to determine the strategy and impact of the KUA policy in suppressing the number of child marriages in Karangpawitan District, Garut Regency. The method used was qualitative with descriptive analysis. Data collection techniques used interviews and literature. The results revealed that the KUA policy strategy in suppressing the number of early marriages in the Karangpawitan sub-district, Garut district, included marriage certificates, counseling and socialization, services in marriage registration administration, and marriage guidance. The impacts of KUA's policy in suppressing the number of early marriages in the Karangpawitan sub-district, Garut district, were nikah siri (unofficial, unregistered marriage), cohabiting, and identity manipulation.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.