Malnutrisi merupakan salah satu penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Malnutrisi yang terjadi secara kronis dapat menyebabkan tidak maksimalnya pertumbuhan linier (stunting) yang akan memberikan dampak yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang prevalensi stunting pada balita di Indonesia sebesar 30,8%, Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara, dengan rata-rata prevalensi balita stunting tahun 2005-2017 adalah 36,4%. Adapun penyebab langsung dan tidak langsung terjadinya stunting adalah asupan nutrisi yang tidak adekuat dan penyakit infeksi. Tujuan untuk mengkaji seberapa besar risiko balita yang memiliki riwayat penyakit infeksi mengalami stunting. Metode yang digunakan yaitu literatur review melalui database google scholar untuk jurnal Indonesia dan jurnal luar negeri pada alamat website https://scholar.google.co.id/. Pencarian artikel menggunakan kata kunci “ penyakit infeksi dan stunting” dengan pengaturan rentang waktu 2015-2021. Berdasarkan hasil review beberapa artikel didapatkan hasil bahwa penyakit infeksi pada balita berkontribusi terhadap meningkatnya risiko terjadinya stunting sebesar 3 - 8 kali lebih besar dibandingkan balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi. Riwayat penyakit infeksi pada balita merupakan faktor protektif terjadinya stunting sehingga mencegah terjadinya penyakit infeksi melalui kesehatan lingkungan dan penyediaan air bersih di rumah tangga dapat menjadi salah satu upaya dalam melakukan pencegahan stunting pada balita
Stunting is a physical growth failure condition signed by height based on age under −2SD. The research goal is knowing the dominant factor associated with stunting on toddler age of 12–24 months in the working area of Singaparna Public Health Center Tasikmalaya regency. The research applies to the cross-sectional design of gender, weight, exclusive breastfeeding history, completeness immunization, and clinically healthy variables, while case-control is for nutrition intake variable. The sample was a total sampling of 376 toddlers, then 30 for case and control group with the simple random method from December 2017 to February 2018. The instrument is a questionnaire, food frequency questionnaire (FFQ), and infantometer. Data analyzed in several ways; univariable, bivariable with chi-square, and multivariable with logistic regression. Research result shows stunting prevalence was 22.5%, next pertain factor of stunting are gender (POR=0.564, 95% CI=0.339–0.937, p value=0.011), exclusive breastfeeding giving history (POR=1.46, 95% CI=1.00–2.14, p value=0.046), and clinically health (POR=1.47, 95% CI=1.00–2.16, p value=0.044). Moreover, dominant factor were gender (OR=0.56, 95% CI=0.339–0.937, p value=0.027) and clinically health (OR=1.68, 95% CI=1.022–2.771, p value=0.041). Thus, gender and clinical health are stunting determinant factors. Children’s health should increase to create maximum growth. DETERMINAN STUNTING PADA ANAK USIA 12–24 BULAN DI PUSKESMAS SINGAPARNA KABUPATEN TASIKMALAYAStunting merupakan kondisi kegagalan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan tinggi badan menurut usia berada di bawah −2SD. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor determinan stunting pada anak usia 12–24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian menggunakan desain cross-sectional untuk variabel jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat ASI eksklusif, kelengkapan imunisasi, dan sehat secara klinis, sedangkan desain case-control untuk variabel asupan nutrisi. Pengambilan sampel secara total sampling sejumlah 376 anak, selanjutnya diambil 30 anak untuk kelompok kasus dan kontrol dengan metode random sederhana periode Desember 2017 hingga Februari 2018. Instrumen menggunakan kuesioner, food frequency questionaire (FFQ), dan infantometer. Analisis data dilakukan secara univariabel, bivariabel dengan chi-square, dan multivariabel dengan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi stunting sebesar 22,6%, faktor yang berhubungan dengan stunting di antaranya jenis kelamin (POR=0,564; IK95%=0,339–0,937; p=0,011), riwayat pemberian ASI eksklusif (POR=1,46; IK95%=1,00–2,14, p=0,046), dan sehat secara klinis (POR=1,47; IK95%=1,00–2,16; p=0,044). Faktor dominan yang berhubungan dengan stunting adalah jenis kelamin (OR=0,56; IK95%=0,339–0,937; p=0,027) dan sehat secara klinis (OR=1,68; IK95%=1,022–2,771; p=0,041). Jenis kelamin dan sehat secara klinis merupakan faktor determinan stunting. Kesehatan anak perlu ditingkatkan untuk menciptakan pertumbuhan anak yang maksimal.
Stunting merupakan suatu kondisi kegagalan mencapai perkembangan fisik yang diukur berdasarkan panjang/tinggi badan menurut umur. Batasan stunting menurut WHO jika tinggi badan menurut umur berdasarkan Z-score sama dengan atau kurang dari -2 SD di bawah rata-rata standar. Proporsi balita dengan stunting di Indonesia masih melebihi batasan non public health WHO yaitu 20% dengan proporsi stunting tahun 2018 yaitu 29,9%. Proporsi stunting di pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perkotaan, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanganan stunting dengan mengangkat kearifan lokal yaitu dengan memberdayakan masyarakat melalui kegiatan gotong royong. Hasil kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini diantaranya; tokoh masyarakat menyepakati akan dilaksanakan gerakan seribu (GEBU) dalam menggalang dana untuk membangun gedung posyandu, gerakan 3 m (memberikan informasi, menjaring balita yang tidak datang ke posyandu dan yang mengalami keluhan masalah pertumbuhan, serta memantau balita yang dinyatakan memiliki masalah pertumbuhan).
Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah keadaan gizi yang kurang baik bahkan buruk. Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal settiap tahun akibat buruknya kualitas nutrisi. Sebuah riset juga menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54 persen kematian anak disebabkan oleh karena keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 persen kematian anak (WHO, 2011). Status gizi buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berfikir yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. Balita hidup penderita gizi buruk dapat mengalami penurunan kecerdasan (IQ) hingga 10 persen. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk atau kurang akan berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia. Gizi buruk masih menjadi salah satu masalah di Kabupaten Tasikmalaya, pada tahun 2016 jumlah kasus gizi buruk berjumlah 63 kasus, sementara tahun 2017 turun menjadi 41 kasus. Kasus ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan, akan tetapi permasalahan gizi kurang masih menjadi masalah nasional yang perlu penanganan serius. Berdasarkan data yang didapat dari profil Puskesmas Singaparna tahun 2016 didapatkan bahwa kasus gizi buruk di Kecamatan Singaparna berjumlah 5 orang. STIKes Respati sebagai satu-satunya sekolah tinggi ilmu kesehatan di Kabupaten Tasikmalaya memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi terhadap permasalahan terkait dengan kesehatan di Kabupaten Tasikmalaya melalui kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi salah satunya dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Salah satu upaya nyata STIKes Respati adalah dengan melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan tema Pemantauan Tumbuh Kembang Balita sebagai upaya peningkatan status gizi untuk dapat membantu terwujudnya kesehatan masyarakat secara umum dan perbaikan status gizi secara khususnya.
Menurut data Riskesdas 2013, persentase nasional proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir adalah 34,5 %. Persentase di Jawa Barat untuk proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir adalah 29,0 %; masih jauh dari angka persentase nasional. Persentase IMD di Kecamatan Singaparna adalah 28,5% (Dinkes Tasikmalaya, 2017); juga masih jauh dari angka persentase nasional, sehingga menyebabkan penulis untuk melakukan penelitian mengenai hubungan IMD dengan pemberian ASI eksklusif di Singaparna.Jenis penelitian ini adalah observasional analitik pendekatan kasus kontrol study, melalui angket dan pengukuran. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik non probability samplingyaitu pengambilan sampel bukan secara acak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu sebanyak 50 responden dengan populasi semua ibu menyusui di Desa Singasari di Kecamatan. Alat ukur yang digunakana pada penelitian ini yaitu wawancara terpimpin, angket dan pengukuran. Pada penelitian ini penliti mengguankan 2 analisa data yaitu, univariat dan bivariate. dapat diketahui bahwa ada hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan asi ekslusif (p<0,05).
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.