Computer vision syndrome (CVS) describes a group of eye and vision related problems that result from prolonged computer use or other gadgets. Its clinical manifestations maybe are not very disturbing for most people. Therefore, it tends to cause delayed treatment. If CVS is not well treated, there would be obstacles in daily life such as decreased productivity, increased failure in working or studying, and also low job satisfaction. This study was aimed to obtain a general view of CVS that involved the development of CVS, subjective complaints, and the its risk factors. This was a literature review study using three databases, as follows: Pubmed, ClinicalKey, and Google Scholar. The keywords were "Computer Vision Syndrome". The results showed that the most frequent complaints were eyestrain, neck pain, and headache, meanwhile the others complaints varied among literatures. The risk factors of CVS were usage of eyeglasses and contact lens, eye distance to the monitor, monitor position, duration of usage, break time, lighting intensity, age and gender, anti-glare filter usage, and brightness. In conclusion, the main complaints of CVS involved the eyes, head, and neck (ocular and non-ocular), meanwhile the risk factors were related to the usage of eyeglasses or contact lens, computer, lighting, and individual factors.Keywords: computer vision syndrome Abstrak: Computer vision syndrome (CVS) adalah sekumpulan gejala pada mata yang dise-babkan oleh penggunaan komputer atau alat elektronik lainnya dalam waktu cukup lama. Manifestasi klinis CVS mungkin dirasakan tidak parah dan tidak mengganggu bagi sebagian orang. Hal tersebut memicu keterlambatan dalam pengobatan.. Dampak yang selanjutnya terjadi jika CVS tidak diatasi ialah adanya hambatan dalam aktivitas sehari-hari seperti penurunan produktivitas kerja, peningkatan tingkat kesalahan dalam bekerja atau belajar, dan penurunan kepuasan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui CVS secara umum yang meliputi proses terjadinya CVS, keluhan subjektif, serta faktor risikonya. Jenis penelitian ialah literature review dengan pencarian data menggunakan tiga database yaitu Pubmed, ClinicalKey, dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan yaitu "Computer Vision Syndrome". Hasil peneli-tian menunjukkan bahwa keluhan-keluhan yang muncul paling sering yaitu mata lelah, nyeri leher, dan nyeri kepala, sedangkan keluhan lainnya bervariasi antar penelitian. Faktor risiko yang berpengaruh yaitu penggunaan kacamata dan lensa kontak, jarak mata dengan layar, posisi layar komputer, durasi penggunaan, pola istirahat, intensitas pencahayaan ruangan, usia, jenis kelamin, penggunaan anti-glare filter, dan kecerahan layar. Simpulan penelitian ini ialah keluhan pada CVS dapat terkait dengan mata dan kepala sampai ke leher (okuler dan non-okuler), dan faktor risikonya berhubungan dengan pemakaian kacamata dan lensa kontak, komputer, pencahayaan, dan faktor individual.Kata kunci: computer vision syndrome
Deterioration of visual acuity commonly occurs among students. This study was aimed to obtain the profile of visual acuity related to duration of gadget usage and distance between eye and the gadget among XII grade students of SMA Negeri 9 Binsus Manado (senior high school). This was a descriptive study. There were 105 students as subjects in this study; 34 of them (32.38%) had decreased visual acuity. There were 80 subjects (76.19%) that did not wear glasses, consisted of 27 males (25.72%) and 44 females (41.9%). Gadget usage for ≥2 hours was found in 99 subjects (94.29%). The most common visual length of using gadget was <30 cm which was found in 85 subjects (80.95%). At day-30, visual acuity examination did not reveal any significant improvement. Conclusion: In this study, most students had normal visus and the majority were females and age of 17 years. Most students used gadget for ≥2 hours, and the visual length of using gadget was <30 cm. There was no significant improvement of visual acuity after 30 days.Keywords: visual acuity, glasses, gadget Abstrak: Penurunan tingkat ketajaman penglihatan pada kalangan usia sekolah merupakan salah satu masalah yang paling sering terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran ketajaman penglihatan terhadap lama penggunaan dan jarak pandang gadget pada siswa kelas XII SMA Negeri 9 Binsus Manado. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif. Hasil penelitian mendapatkan 105 siswa kelas XII SMA Negeri 9 Binsus sebagai subyek penelitian. Jumlah subyek yang mengalami penurunan visus ialah 34 siswa (32,38%). Siswa yang tidak memakai kacamata lebih banyak dibandingkan yang memakai kacamata dengan jumlah 80 siswa (76,19%), terdiri dari 27 laki-laki (25,72%) dan 44 perempuan (41,9%). Kasus lama penggunaan gadget yang terbanyak ialah ≥2 jam dengan jumlah 99 siswa (94,29%). Jarak pandang gadget yang terbanyak ialah <30 cm dengan jumlah 85 siswa (80,95%). Pada hari ke-30 penelitian, pemeriksaan ketajaman penglihatan tidak mendapatkan perubahan visus yang nyata. Simpulan: Sebagian besar siswa memiliki visus normal, didominasi oleh jenis kelamin perempuan dan usia 17 tahun. Umumnya lama penggunaan gadget ≥2 jam dengan jarak pandang gadget <30 cm. Tidak didapatkan perubahan visus yang nyata setelah 30 hari.Kata kunci: ketajaman penglihatan, kacamata, gadget
COVID-19 is a respiratory infectious disease due to SARS-CoV-2 virus. This virus requires angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) receptor to invade cells. ACE2 receptors are also found in the conjunctiva, therefore, the surface tissue of the eye can be a potential target for COVID-19 transmission. The most common ocular manifestation of COVID-19 is conjunctivitis. This study aimed to evaluate whether there was a relationship between conjunctivitis and COVID-19 disease. This was a literature review study using four databases, namely Pubmed, Google Scholar, Science Direct and Clinical Key. The keywords were COVID-19 AND conjunctivitis. The results showed that conjunctivitis due to COVID-19 could be one or the only symptom. The age range of COVID-19 positive samples with conjunctivitis symptoms was dominated by middle-aged to elderly. More often the patients had moderate to asymptomatic degree of symptoms. Supportive therapies such as artificial tear drops and cold compresses greatly helped the healing process. In conclusion, the transmission of COVID-19 infection due to SARS-CoV-2 virus can spread through the conjunctiva. Conjunctivitis can be the only symptom that appears due to COVID-19 infection or as an early sign of infection.Keywords: conjunctivitis; COVID-19 Abstrak: COVID-19 merupakan penyakit infeksi menular pernapasan yang diakibatkan oleh virus SARS-CoV-2. Virus ini membutuhkan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) untuk menginvasi sel-sel. Reseptor ACE2 juga ditemukan pada konjungtiva sehingga jaringan permukaan mata dapat menjadi target potensial untuk penularan COVID-19. Manifestasi okular akibat COVID-19 yang sering ditemukan ialah konjungtivitis. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah terdapat hubungan antara konjungtivitis dengan COVID-19. Jenis penelitian ialah suatu literature review. Pencarian data menggunakan empat database Pubmed, Google Scholar, Science Direct dan Clinical Key dengan kata kunci yaitu COVID-19 AND conjunctivitis. Hasil penelitian mendapatkan bahwa konjungtivitis akibat COVID-19 dapat menjadi salah satu maupun satu-satunya gejala. Rentang usia sampel positif COVID-19 dengan gejala konjungtivitis didominasi oleh middle-aged sampai lanjut usia dan lebih sering pasien derajat gejala asimt-omatik-sedang. Terapi suportif seperti pemberian tetes air mata buatan dan kompres dingin sangat membantu proses penyembuhan. Simpulan penelitian ini ialah penularan infeksi COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 dapat menyebar melalui konjungtiva. Konjungtivitis dapat menjadi satu-satunya gejala yang muncul akibat infeksi COVID-19 maupun sebagai tanda awal infeksi.Kata kunci: konjungtivitis; COVID-19
Conjunctivitis is a disease that can affect every age group including newborns. One of its complications is blindness. The vision of WHO in 2020 is ophthalmia neonatorum as the leading cause of blindness in low income country in African and other third world countries. This study was aimed to obtain an overview of ophthalmia neonatorum in general. This was a literature review study using three database Clinical Key, Pub Med, and Google Scholar, using the key words ophthalmia neonatorum OR neonatal conjunctivitis. The result showed that the most common pathogens were S. aureus, C. trachomatis, and N. gonorrhoeae. Transmission through normal labour had the highest incidence of conjunctivitis in newborns. Internal factors of mothers such as infected by pathogens had a tendency to transmit the infection to the babies meanwhile external factors of mothers were skipping the initial antenatal care (ANC) for screening of pathogens infecting the mothers supported by the high prevalence of conjunctivitis in developing countries associated with lower educational and socioeconomic status. In conclusion, ophthalmia neonatorum was affected by the mother conditiom (antenatal infection) and external factors including ANC, developed countries, and low educational and socioeconomic status.Keywords: conjunctivitis, newborns, ophthalmia neonatorum Abstrak: Konjungtivitis merupakan penyakit mata yang dapat menyerang semua kalangan termasuk bayi. Salah satu komplikasi konjungtivitis pada bayi ialah kebutaan. World Health Organization tahun 2020 mencanangkan bahwa oftalmia neonatorum termasuk salah satu penyebab utama terjadinya kebutaan di negara-negara yang berpenghasilan rendah di benua Afrika dan negara lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum dari konjungtivitis pada bayi. Jenis penelitian ialah literature review. Pencarian data menggunakan tiga database, yaitu: ClinicalKey, PubMed, dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan yaitu ophthalmia neonatorum OR neonatal conjunctivitis. Hasil penelitian mendapatkan bahwa organisme patogen penyebab tersering ialah S. aureus, C. trachomatis, dan N. gonorrhoeae dengan penularan melalui jalan lahir ibu yang terinfeksi. Persalinan pervaginam menunjukkan angka kejadian terjadinya konjungtivitis pada bayi yang tinggi. Faktor internal ibu yang terinfeksi organisme patogen berisiko menularkan infeksi kepada bayinya. Faktor eksternal ibu yang tidak rutin melakukan antenatal care (ANC) akan melewatkan skrining awal adanya organisme yang menginfeksi ibu, didukung juga oleh prevalensi konjungtivitis yang terjadi di negara berkembang dengan status pendidikan dan sosioekonomi yang masih rendah. Simpulan penelitian ini ialah konjungtivitis pada bayi dipengaruhi oleh faktor ibu (infeksi antenatal) dan faktor eksternal termasuk ANC, negara berkembang, serta status pendidikan dan sosioeknomi yang rendah.Kata kunci: konjungtivitis, bayi, oftalmia neonatorum
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.