There is a high diversity of bees in the tropics, including honey bees and stingless bees, which are the main sources for honey and other ecosystem services. In Indonesia, beekeeping practices have been developed for centuries, and they have been part of many cultural practices in many traditional communities. The objective of this research was to study the beekeeping status and managed bee diversity in Indonesia and to investigate beekeepers’ perspectives on the factors and obstacles related to beekeeping. Direct interview and online interview were conducted to gain data on bees and beekeepers. In total, 272 beekeepers were interviewed across 25 provinces. Samplings of honey bees and stingless bees were also done during direct interviews for further identification and, when possible, pollen identification. All data and specimens were then sent to IPB Bogor for compilation and identification. We recorded 22 species of bees, including 3 species of honey bees and 19 species of stingless bees, that are reared by Indonesian beekeepers, with Apis cerana and Tetragonula laeviceps as the most common species. Our research also found that the majority of beekeepers fall into the category of the younger generation (30–39 years old) with educational background mostly from senior high school. Based on the beekeepers’ perspectives, there are several obstacles to beekeeping, especially the occurrence of death of bee foragers attributed to climate, food source, and pesticides. In conclusion, there is a need to develop a strategy for beekeeping and bee conservation in Indonesia, especially for adaptation and mitigation from environmental changes with a particular focus on climate and land-use change.
Penelitian keanekaragaman serangga meliputi informasi jenis, nilai keanekaragaman dan kekayaan jenis serangga mulai banyak dilakukan berkaitan dengan penggunaan insektisida dalam mengendalikan hama di perkebunan kelapa sawit. Aplikasi insektisida jangka panjang selama 9 bulan dengan rotasi aplikasi dua minggu sekali telah dilakukan sebagai kajian informasi tentang penurunan jenis dan keanekaragaman serangga di perkebunan kelapa sawit. Jenis insektisida yang digunakan terdiri dari insektisida Fipronil, insektisida biologis Bacillus thuringiensis (Bt) dan kombinasi insektisida Klorantraniliprol (1 kali) dan Bt (3 kali). Penangkapan serangga digunakan perangkap nampan kuning, Malaise trapdan jaring serangga. Berdasarkan hasil pengamatan, serangga yang tertangkap pada seluruh lokasi pengamatan sejumlah 7.943 individu, yang terdiri dari 80 Famili dan 11 Ordo. Nilai indeks keanekaragaman dan jumlah individu pada lokasi dengan aplikasi insektisidakimia Fipronillebih rendah daripada perlakuan lain yang disebabkan berkurangnya jumlah famili dan individu, sedangkan pada lahan dengan aplikasi insektisida biologisBt maupun kombinasinya dengan insektisida kimia Klorantraniliprol relatif tidak mempengaruhi indeks keanekaragaman dan nilai sebaran serangga.
Penyakit bercak daun telah bertransformasi menjadi ancaman serius untuk keberlangsungan pembibitan kelapa sawit. Dalam kurun dua tahun terakhir, infestasi penyakit bercak daun pada beberapa sentra pembibitan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan telah menyebabkan kerusakan yang berat hingga menyebabkan kematian pada bibit yang dibudidayakan. Evaluasi penyakit pada sentra-sentra pembibitan dengan tingkat penyakit berat menunjukkan adanya kesamaan metode penyiraman yang menyediakan kondisi optimal bagi patogen untuk menginisiasi penyakit. Tindakan pengendalian yang masih mengandalkan penggunaan fungisida harus dilakukan secara bijak untuk mencegah terjadinya resistensi. Indikasi resistensi dapat dikaji dari penurunan efektivitas pengendalian fungisida yang sama dari waktu ke waktu. Rotasi dan pencampuran bahan aktif menjadi salah satu solusi untuk mematahkan serta mencegah terjadinya resistensi terhadap suatu bahan aktif fungisida. Namun, penggunaan fungisida hanya akan mampu menghentikan epidemi penyakit jika diiringi dengan pemahaman mengenai aspek-aspek yang memengaruhi perkembangan penyakit bercak daun di pembibitan kelapa sawit.
Penelitian untuk mengetahui dampak aplikasi konsorsium mikoriza terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman dan tingkat kejadian penyakit Ganoderma dilakukan pada fase pembibitan kelapa sawit. Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor (dosis mikoriza dan waktu inokulasi Ganoderma) dan tiga taraf perlakuan pada masing-masing faktor utama yaitu dosis mikoriza sebanyak 0 g, 30 g di pre-nursery (PN) ditambah 40 g di main nursery (MN), atau 40 g di PN ditambah 50 g di MN, dengan waktu inokulasi Ganoderma pada 3 atau 6 bulan setelah tanam dan perlakuan tanpa inokulasi sebagai pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat mikoriza yang digunakan dapat bersimbiosis dengan perakaran bibit kelapa sawit dengan tingkat kolonisasi antara 39,13% dan 45,74%. Aplikasi mikoriza tidak memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan meninggi dan jumlah daun bibit kelapa sawit, namun berdampak signifikan terhadap perkembangan diameter bonggol yang lebih lebar. Kejadian dan intensitas penyakit Ganoderma pada tanaman dengan aplikasi mikoriza secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa mikoriza. Aplikasi mikoriza mampu menekan perkembangan penyakit hingga lebih dari 50% pada seluruh dosis yang digunakan.
Pengendalian hama tikus di perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan secara kimiawi menggunakan rodentisida atau secara biologi dengan memanfaatkan musuh alami, maupun integrasi antar keduanya. Pada penelitian ini dilakukan efikasi dua jenis bahan aktif rodentisida yaitu kumatetralil dan Sarcocystis singaporensis terhadap serangan tikus pohon Rattus tiomanicus pada tanaman kelapa sawit menghasilkan. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri 3 perlakuan dan 6 blok/ulangan. Dosis perlakuan kumatetralil yaitu 1 blok per pohon sedangkan dosis perlakuan S. singaporensis yaitu 2 pelet per pohon. Aplikasi umpan rodentisida dilakukan dengan interval lima hari sekali 4 ulangan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa persentase kejadian serangan tikus mengalami penurunan di seluruh blok percobaan. Kejadian serangan tikus pada blok aplikasi Kumatetralil secara nyata lebih rendah dibandingkan blok kontrol pada pengamatan 5 dan 10 hari setelah aplikasi (hsa), sedangkan pada blok aplikasi S. singaporensis hanya terlihat pada 5 hsa. Rerata laju penurunan serangan tikus selama aplikasi pada perlakuan Kumatetralil, S. singaporensis, dan kontrol adalah berturut-turut sebesar 53,80%; 38,58%; dan 21,86%. Intensitas serangan tikus pada bunga jantan sebelum aplikasi cukup tinggi yakni sebesar 31,87% - 40,64% sedangkan intensitas serangan tikus pada buah kelapa sawit hanya bekisar antara 4,85% - 7,52%. Penurunan kejadian dan intensitas serangan tikus selaras dengan penuruan umpan yang dimakan. Pada perlakuan kumatetralil umpan yang dimakan turun dari 75,02% menjadi 57,03%, sedangkan pada perlakuan S. singaporensis turun dari 61,38% menjadi 47,20%. Pada pengujian ini, nilai efikasi terbaik diperoleh pada perlakuan kumatetralil di 5 has sebesar 56,68%.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.