Pemisahan agama dan kepercayaan dalam konstitusi adalah suatu kebijakan yang menimbulkan beragam permasalahan. Seringkali para penghayat kepercayaan mengalami intimidasi ataupun hal-hal lain yang mengganggu pelaksanaan hak sipilnya untuk menganut dan mengamalkan ajaran kepercayaan yang dianutnya. Dengan dalih kepercayaan bukan agama, para pelaku anarkisme seringkali melakukan pelarangan dan kekerasan terhadap para penganut kepercayaan. Kajian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Sedangkan hasil penelitiannya ialah bahwa 1) Alasan hukum pemisahan pengaturan antara agama dengan aliran kepercayaan disebabkan oleh politik pembedaan pendefinisian keduanya dimana kepercayaan diamsusikan sebagai tradisi dan ajaran luhur masyarakat yang bersumber dari budaya yang keberadaannya di luar agama. 2) Pemisahan agama dan kepercayaan berakibat hukum tidak diakuinya aliran kepercayaan sebagai agama resmi negara, padahal status aliran kepercayaan merupakan agama lokal yang diyakini sebagai agama oleh para penganutnya. Pemisahan ini juga mengakibatkan hadirnya beragam sikap diskriminatif yang berpotensi mengganggu dan merampas hak setiap warga negara dalam meyakini suatu agama, dalam hal ini hak beragama yang diganggu dan dirampas ialah hak untuk meyakini agama lokal sebagai agama warisan leluhur bangsa Indonesia. The separation of religion and indigenous religion in the constitution is a policy that causes various problems. Often the beliefs of the indigenous religion are intimidating or other things that interfere with the exercise of civil rights to embrace and put into practice the beliefs embraced. Under the pretext of non-religious convictions, the perpetrators of anarchism often make prohibitions and violence against believers. This research uses normative legal methods. The results of the research are: The first, the legal reason for the separation of rules between religion and indigeneous religion is caused by the politics of defining both of them in which beliefs are interpreted as traditions and noble teachings of society originating from cultures which are outside of religion; The second, that the separation of religion and indigenous religion that is caused in the law does not recognize the indigenous religion as the official religion of the state, while the status of the indigenous religion is a local religion that is considered as a religion by his believers. This separation also makes several of discriminatory attitudes come up to have potency in disrupting and robbing every citizen’s right to believe in a religion. In this case, the right which is bullied is the right to believe in local religion as the religion of the Indonesian ancestral heritage.
<p>Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 belum sepenuhnya menjadi solusi atas persoalan hukum seputar aliran kepercayaan, utamanya berkaitan dengan hak-hak penganutnya dalam menuliskan identitas keagamaan dalam dokumen kependudukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengurai ragam persoalan hukum yang hingga saat ini masih menjadi persoalan serius bagi penghayat aliran kepercayaan di bidang administrasi kependudukan. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif, sedangkan pendekatannya menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan kasus. Hasil dari penelitian ini ialah bahwa persoalan hukum hak-hak penganut aliran kepercayaan di bidang administrasi kependudukan berupa tidak tersedianya kolom aliran kepercayaan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 118/2017. Selain itu penggunaan redaksi “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME” belum sepenuhnya mampu mengakui dan menjamin status hukum aliran kepercayaan.</p>
Harus diakui bahwa perkembangan hak dan kebebasan beragama di Indonesia mengalami berbagai masalah, baik secara substansi pengaturan maupun penegakannya. Ini dibuktikan dengan semakin maraknya aksi-aksi kekerasan berbasis agama di berbagai wilayah di Indonesia. Beragam aksi tersebut nyatanya bertentangan dengan jaminan terhadap hak dan kebebasan yang diatur oleh beberapa aturan positif Indonesia. Guna memperbaiki segala persoalan di atas, tidak ada salahnya jika dalam perumusan pengaturan hak dan kebebasan beragama berkiblat pada aturan hukum yang diberlakukan pada zaman Majapahit, mengingat selain terdapat kesamaan kultur, kerajaan tersebut telah teruji reputasinya sebagai negeri yang plural.
As one of modern law state, Indonesia provides arrangement and guarantee of human rights and freedom of religion. Moreover, this guarantee is clearly stated in the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945. It indicates the existence of human rights and freedom of religion is a constitutional right. Nevertheless, the limitations existed on freedom of religion set out in some legislations affect negatively due to unclear concept of those arrangements. It is became worsen when the limitations of provisions are actually used to justify the action of radicalism in the name of religion. Therefore, scientific studies about the conception of limitations on freedom of religion become urgent as a preventive step in order to avoid the misuse of provisions limitations in the freedom of religion.
The essence of human rights is to protect and ensure the glory and dignity of people. So it becomes important human rights principles stipulated in the legislation in order to guarantee the state of human rights can be implemented optimally. However, there are some parties who deliberately rammed by the Islamic Human Rights as a product of the Liberals are opposed to the Sharia. In fact, both Islam and human rights, aimed at ensuring the glory and dignity of man as the principles “maqhasidu al-syari`ah” are the main objectives the implementation of Islamic law. This paper aims to prove that human rights are not contrary to Islam because it has been expressly stipulated that one-on-one purpose in religion is upholding human dignity. This paper uses legal research methods that reveal the fact that Islam protects personal rights of his people so that the necessary regulatory and enforcement of human rights in the Indonesia. Hakikat hak asasi manusia (HAM) ialah untuk melindungi dan menjamin kemuliaan dan martabat manusia. Sehingga menjadi penting prinsip-prinsip HAM diatur dalam peraturan perundang-undangan agar jaminan negara terhadap HAM dapat dilaksanakan secara maksimal. Meski demikian, terdapat beberapa pihak yang sengaja membenturkan HAM dengan Islam seolah HAM merupakan produk kaum Liberal yang bertentangan dengan Syariah Islam. Padahal, baik Islam maupun HAM, bertujuan untuk menjamin kemuliaan dan martabat manusia sebagaimana prinsip-prinsip maqhasidu al-syariah yang menjadi tujuan utama diberlakukannya syariah Islam. Tulisan ini bertujuan untuk membuktikan bahwa HAM tidak bertentangan dengan Islam karena telah diatur secara tegas bahwa salah-satu tujuan dalam beragama ialah tegaknya martabat kemanusiaan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang mengungkap fakta bahwa Islam melindungi hak-hak pribadi umatnya sehingga diperlukan pengaturan dan penegakan HAM dalam kontek negara hukum Indonesia.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.