Abstract. Praptosuwiryo TNg. 2017. Spore germination and early gametophyte development of Platycerium wandae (Polypodiaceae) from Papua,. Studies on gametophyte development in ferns are very important, as the data generated is often useful for supporting taxa delimitation in ferns and fern-allies. This data is also very important for understanding the ecology, reproductive biology, evolution and distribution of ferns. The study reported here aimed to develop a deeper understand of morphogenesis in the fern Platycerium wandae Racib. by investigating the process of spore germination and early gametophyte development of the species on natural media. Fresh spores of P. wandae were germinated in a mixed media consisting of minced roots of Cyathea contaminans and charcoaled rice hulls (1: 1) under green house condition. Spores of P. wandae are monolete, ellipsoid, nonchlorophyllous, dark brown, and lacking perine. Spores germinated between 7 to 14 days after sowing (DAS). Spore germination of P. wandae is of the Vittaria-type and the prothallial development is of the Aspidium-type, characterized by early development of unicelullar trichomes (30-40 DAS). Only unisexual gametophytes were observed at 60-80 DAS. New data is provided concerning the morphogenesis of P. wandae from Papua, Indonesia, on natural media. The findings are relevant to reproductive biology, would contribute to establish an efficient ex situ propagation strategies for the conservation of epiphyitic ferns and to facilitate further in situ studies of gametophyte ecology.

Burung adalah salah satu jenis hewan peliharaan (pet) yang banyak digemari masyarakat di Indonesia saat ini. Banyak jenis burung yang dipelihara karena kemerduan suaranya dan keindahan warna bulunya. Jenis burung peliharaan yang bernilai ekonomis tinggi akan menunjukkan status sosial ekonomi pemeliharanya. Burung Murai Batu (Copsychus malabaricus) termasuk sebagai burung yang digemari dan bernilai ekonomis tinggi. Hingga saat ini masih belum banyak diketahui informasi tentang status reproduksinya baik yang berada di habitat in situ maupun ex situ. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara pada penangkar lokal di Kota Bengkulu. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui data biologis dasar berupa tampilan reproduksi burung Murai Batu pada penangkaran ex-situ yang dilakukan oleh penangkar lokal di Kota Bengkulu. Data hasil observasi dan wawancara kemudian dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian pada penangkar lokal di Kota Bengkulu dapat disimpulkan bahwa burung Murai Batu menghasilkan telur rata-rata 2,9 butir dalam dua periode bertelur. Lama durasi mengeram rata-rata 12,1 hari dalam dua periode bertelur dengan daya tetas sebesar 94,16% dalam dua periode bertelur. Anakan burung Murai Batu disapih pada umur 30 hari sedangkan untuk jarak waktu bertelur kembali rata-rata 20,1 hari dalam dua periode  bertelur.Kata kunci: Burung Murai Batu, reproduksi, penangkaran lokal.

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian asam amino essensial (lisin, metionin, dan triptopan) dalam ransum berbasis lumpur sawit terhadap performans dan kualitas telur ayam petelur. Rancangan Percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, pada penelitian ini digunakan ayam petelur fase produksi umur 8 bulan sebanyak 40 ekor. Ayam petelur tersebut terbagi dalam 4 perlakuan yaitu perbedaan pemberian tingkat suplementasi asam amino essensial yaituP0 : tanpa suplementasi, suplementasi asam amino. P1: 50% (Lys 113,26gr; Met 70,14gr; Trp 36,2gr), P2: suplementasi 75% (Lys 169,89gr; Met 105,21gr; Trp 63,35gr), P3 : suplementasi 100% (Lys 226,52gr; Met 140,28gr; Trp 72,4gr), suplementasi asam amino ini adalah dalam 100 kg bahan pakan. Variabel yang diamati adalah konsumsi ransum, konversi ransum, berat telur, produksi telur, warna yolk, dan income over feed cost. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pengaruh tidak nyata (P>0,05)terhadap konsumsi ransum, konversi ransum, berat telur dan juga produksi telur, namun warna yolk nyata (P<0,05) dengan pemberian peningkatan asam amino kritis. Perlakuan dengan suplementasi asam amino essensial pada level 50% memberikan warna yolk yang nyata dampak terhadap kecerahan warna yolk dimana rataan warna yang didapat adalah 8,56. Jadi dapat disimpulkan bahwa suplementasi asam amino kritis dalam ransum berbasis lumpur sawit fermentasi pengaruh yang nyata terhadap warna yolk.Kata kunci: fermentasi lumpur sawit, asam amino kritis.

Abstract. Setianto J, Sutriyono, Prakoso H, Zain B, Adwiyansyah R, Amrullah AHK. 2019. Short Communication: Phenotypic diversity of male Burgo chicken from Bengkulu, Indonesia. Biodiversitas 20: 532-536. Burgo chicken is the result of a crossbreed of Red Junglefowl (Gallus gallus gallus) with Kampung chicken (Gallus domestica). This study aimed to describe the diversity of colors found in male Burgo chickens. The study was conducted in the city of Bengkulu, Indonesia. The method used in this study was a direct observation of the 50 male chickens on the breeders. The breeders belonging to the Burgo chicken community were determined by random sampling method. The breeders who did not join the community were determined by the snowball sampling method. This method was carried out because the presence of breeders who keep Burgo chickens was unknown. The data in this study consisted of the color of chest feathers, neck feathers, wing feathers, tail feathers, saddle feathers, and the number of wing and tail feathers. The data obtained were analyzed descriptively. The number of colors ranges 4 to 11 with the high diversity is mainly found on the feathers of the chest, neck and, saddle.

No abstract