AbstrakLatar belakang:Metode penyembuhan luka telah mengalami perkembangan, baik berupa suatu produk atau stimulan terhadap proses biologis tubuh dalam menkompensasi luka. Fibroblas merupakan salah satu komponen penyembuhan yang berperan penting dalam proses fibroplasia. Culture Filtrate Fibroblast (CFF) merupakan hasil kultur fibroblas yang akan dibuktikan efeknya terhadap proses percepatan penyembuhan luka pada penelitian ini. Metode. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan metode post test only control group design dan rancangan acak kelompok (RAK) dengan menggunakan tikus putih wistar. Hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu 2 kelompok perlakuan yang diberikan CFF ke area eksisi luka dan kelompok kontrol yang diberikan larutan NaCl 0,9% ke area eksisi luka. Data diolah dengan SPSS 16.0. Data Kategori dianalisa dengan Chi-squared dan data numerik dengan Independent T-test. Hasil. Dari tingkat penyembuhan tidak ditemukan perbedaan pada kedua kelompok, namun perubahan restriksi jaringan lebih besar pada kelompok perlakuan. Pada skor pembentukan kolagen, derajat epitelisasi serta jumlah pembentukan pembuluh darah baru pada hari ke-3 tidak ditemukan perbedaan antara kedua kelompok. Namun pada pengamatan hari ke-7 memperlihatkan pembentukan kolagen, derajat epitelisasi serta jumlah pembentukan pembuluh darah baru lebih banyak pada kelompok perlakuan. Pada fibrosis hari ke-3 dan hari ke-7 memperlihatkan terjadinya fibrosis lebih banyak pada kelompok perlakuan dibanding kontrol. Pada pengamatan terjadinya infeksi hari ke-3 memperlihatkan infeksi lebih sedikit pada kelompok perlakuan dan terjadinya infeksi sama pada hari ke-7. Kesimpulan. CFF memberikan tingkat penyembuhan luka yang lebih baik dibanding NaCl.Kata kunci: CFF, NaCl 0,9 %, tingkat penyembuhan luka.Abstract Background: Wound healing methods have been developed, either a product or a stimulant to the body's biological processes in wound compensation. Fibroblasts is one component that plays an important role in the healing process of fibroplasia. Culture filtrat Fibroblast (CFF) is a result of fibroblast culture to be proven effect on the acceleration of wound healing in this study.Methods. This study used an experimental design method post test only control group design and randomized block design (RBD) by using wistar mice. Experimental animals were divided into 4 groups, the two groups of treatment given to the area of excision wound CFF and the control group were given 0.9% NaCl solution to the excision wound area. Data processed with SPSS 16.0. Data were analyzed with categories Chi squared and numerical data by the Independent T-test.Result. From degree of wound healing is not found differences in both groups, but the changes in the network restriction greater in the treatment group. The score formation of collagen, the degree of epithelialization and the amount of neovascularisation formation at 3rd day there was no difference between the two groups. However, the observation of 7th day shows the formation of collagen, the degree of epithelialization and the amount of neovascularisation formation more in the treatment group. On the 3rd day fibrosis and 7th day showed more fibrosis in the treatment group compared to controls. In observation of the 3rd day infection showed fewer infections in the treatment group and the same infection between the two group at 7th day.Conclusion. CFF give wound healing better than NaCl.Keywords:CFF, NaCl 0,9 %, degree of wound healing.
Proses fiksasi adalah tahap pertama dalam pembuatan sediaan histopatologik. Banyak faktor yang mempengaruhi proses fiksasi sehingga dapat menghasilkan sedian histopatologik yang baik. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui proses fiksasi agar menghasilkan sediaan yang baik pada pemeriksaan histopatologik. Tujuan utama fiksasi adalah untuk menjaga sel dan komponen jaringan pada keadaan “life-like state”. Secara umum terdapat dua tipe fiksasi untuk spesimen biologi yaitu fiksasi fisik dan fiksasi kimia. Mekanisme yang penting dalam fiksasi kompleks protein yaitu denaturasi dan cross-linking atau gabungan keduanya. Banyak faktor yang mempengaruhi proses fiksasi antara lain konsentrasi ion hidrogen (pH netral), temperatur fiksasi (suhu kamar), kemampuan penetrasi (penetration rate) dan ketebalan pemotongan (3-4 mm), konsentrasi larutan, volume fiksasi (20:1) dan durasi fiksasi. Pemilihan larutan fiksatif yang digunakan tergantung kepada jenis pewarnaan dan jenis molekul yang ingin dilindungi. Saat ini larutan netral buffer formalin merupakan fiksatif yang paling baik dipakai untuk pemeriksaan histopatologik.
Kromomikosis merupakan infeksi jamur kronik yang disebabkan oleh jamur berpigmen (dematiaceous) yang masuk ke dermis dari lingkungan sekitar. Kromomikosis mengenai laki-laki dewasa dengan rentang usia antara 40-50 tahun. Predileksi paling sering yaitu di ekstremitas bawah terutama kaki. Tanah, sayur-sayuran dan bahan organik lainnya merupakan habitat normal dari jamur ini. Tujuan: Melaporkan satu kasus kromomikosis jarang. Kasus: Dilaporkan kasus pada seorang laki-laki usia 53 tahun dengan bercak berwarna keabu-abuan tanpa rasa gatal dan nyeri yang semakin bertambah besar sejak ±1 tahun yang lalu pada pergelangan kaki kiri. Simpulan: Kromomikosis sering salah didiagnosis sebagai karsinoma sel skuamosa, konfirmasi histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis karena pemeriksaan secara histopatologi menunjukkan gambaran khas yaitu adanya copper pennies sehingga dapat menyingkirkan diagnosis bandingnya.
AbstrakMassa intraabdomen selalu menjadi polemik dalam tindakan bedah. Sebagian besar massa intraabdomen tidak dapat diraba karena letaknya yang jauh didalam. Fine needle aspiration biopsy (FNAB) merupakan prosedur untuk menentukan diagnosis awal pasien dengan massa yang teraba superfisial, massa kistik dan massa yang tidak dapat diraba yang terletak jauh didalam (profunda) dengan panduan radiologis. Ultrasonografi (USG) adalah modalitas pencitraan yang ideal sebagai alat pemandu biopsi dengan berbagai keuntungan yaitu tidak adanya radiasi, kurangnya agen kontras nefrogenik, ekonomis, portabel, dan dapat memberikan panduan dalam berbagai bidang seperti transversal, longitudinal dan obliq. Prosedur FNAB massa intrabdomen dipandu USG meliputi persiapan pasien, posisi pasien, pemilihan jarum biopsi, penempatan jarum dan teknik pengambilan sampel. Disamping itu dilakukan monitor pasien setelah prosedur biopsi, penanganan sampel dan penilaian adekuasi sampel. Ahli patologi berperan dalam evaluasi on site agar dapat memberikan umpan balik terhadap kualitas sampel yang diperoleh.Katakunci — Fine Needle Aspiration Biopsy, Ultrasonografi, Massa Intraabdomen AbstractIntra-abdominal mass has always been a polemic in surgery. Most of the intra-abdominal mass cannot be felt because it is deep inside. Fine needle aspiration biopsy (FNAB) is a procedure for determining the initial diagnosis of a patient with a superficial palpable mass, a cystic mass and deep inside mass with radiological guidance. Ultrasonography (USG) is an imaging modality as a biopsy guiding tool with the advantages of absence of radiation, lack of nephrogenic contrast agents, economical, portable, and can provide guidance in areas such as transverse, longitudinal and oblique. The ultrasound guided intrabdominal mass FNAB procedure includes patient preparation, patient positioning, biopsy needle selection, needle placement and sampling technique. In addition, patient monitoring is performed after the biopsy procedure, sample handling and assessment of sample adequacy. The pathologist plays a role in the on site evaluation in order to provide feedback on the quality of the samples obtained.Keywords— Fine Needle Aspiration Biopsy, Ultrasound, Intraabdominal Mass
AbstrakVitamin C berfungsi sebagai kofaktor enzyme prolil dan lysil hydroxilase. Enzym tersebut berfungsi dalam proses hidroksilasi yang membentuk ikatan hidroksiprolin dan hidroksilisin pada fibroblast dalam membentuk kolagen. Selain itu Vitaimin C juga berfungsi meregulasi dan menstabilkan trankripsi gen mRNA prokolagen pada proses pembentukan kolagen di dermis. Berdasarkan hal tersebut diatas, peneliti tertarik untuk membuktikan apakah pemberian vitamin C subkutan disekitar luka insisi dermal berefek pada pembentukan kolagen yang lebih padat dalam proses penyembuhan luka. Metode: Penelitian eksperimental ini menggunakan tikus Wistar sebanyak 32 ekor, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 16 ekor sebagai kontrol dan 16 ekor lagi sebagai perlakuan. Pada kedua kelompok dilakukan insisi di punggung sepanjang 2 cm. Kelompok perlakuan diberi suntikan vitamin C subkutan disekitar luka insisi dermal sebanyak 9 mg (0,09ml), sedangkan kelompokkontrol tidak diberikan.Pada hari kelima dilakukan pengambilan jaringan luka pada kedua sampel untuk pemeriksaan kepadatan kolagen secara mikroskopik. Hasil:Kepadatan kolagen pada hari kelimamenunjukkan perbedaan yang bermakna dari efek penyuntikan vitamin C subkutan terhadap kepadatan kolagen (χ2 = 5,833; P<0,05). Kesimpulan: Penyuntikan vitamin C subkutan disekitar luka insisi dermal efektif dalam meeningkatan kepadatan kolagen. Kata kunci: suntikan vitamin C subkutan, kepadatan kolagen.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.