Pembenihan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) sudah berhasil dikembangkan di tingkat petani secara massal, namun terdapat beberapa kendala. Salah satu kendala pada saat pemeliharaan larva adalah seringnya terjadi kematian setelah penambahan plankton Nannochloropsis sp. Kematian tersebut disebabkan pemberian plankton yang tidak tepat baik kualitas maupun kuantitasnya sehingga menyebabkan turunnya kualitas air pada tangki pemeliharaan larva. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penambahan optimal Nannochloropsis sp. sehingga diperoleh jumlah kepadatan Nannochloropsis sp. yang tepat sebagai green water dan persediaan pakan rotifer pada bak pemeliharaan larva. Perlakuan yang dicoba adalah penambahan Nannochloropsis sp. dengan kepadatan yang berbeda yaitu: A. Tanpa Nannochloropsis sp.; B. 100.000 sel/mL; C. 300.000 sel/mL; dan D. 500.000 sel/mL. Hasil yang diperolehpada perlakuan D (penambahan Nannochloropsis sp. 500.000 sel/mL) menghasilkan sintasan 26,8%; lebih tinggi dari perlakuan yang lain, berikut perlakuan C, B, dan A masing-masing 19,5%; 14,2%; dan 3,5% sedangkan panjang total larva umur 45 hari relatif sama antara 2,47-2,53 cm.
ABSTRAK Abalon (Haliotis squamata) merupakan jenis kekerangan yang mulai dikembangkan untuk dapat memenuhi permintaan pasar. Tingkat pertumbuhan abalon sangat lambat sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memacu pertumbuhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis pakan yang cocok dan dapat memacu pertumbuhan yuwana abalon. Biota uji yang digunakan adalah yuwana abalon dengan ukuran panjang cangkang awal 12,51 ± 1,27 mm, yang ditempatkan dalam wadah plastik berukuran 35 cm x 25 cm x13 cm, diisi dengan kepadatan 25 ekor/wadah. Perlakuan jenis pakan berbeda adalah (A) pelet, (B) pakan rumput laut (Gracilaria spp.), dan (C) kombinasi rumput laut dan pelet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jenis pakan berbeda memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap tingkat pertumbuhan panjang, lebar cangkang, dan bobot badan yuwana abalon turunan F-1.KATA KUNCI: pakan, pertumbuhan, Haliotis squamata, turunan F-1 ABSTRACT:Rearing of abalone (Haliotis squamata) F-1 generation juvenile through different kinds of feed. By: Bambang Susanto, Ibnu Rusdi, Suko Ismi, and Riani Rahmawati Abalone (Haliotis squamata) is one of shellfish to develop for market demand. The growth of abalone is slow and this experiment was purposed to increase to find out the suitable kinds of feed to promote the growth of abalone juvenile in hatchery. The rearing of abalone juvenile was conducted in plastic boxes size of 35 cm x 25 cm x 13 cm, filled with density of 25 ind./box with initial shell length of 12.51 ± 1.27 mm. The experiment applied different kinds of feed, (A) pellet, (B) seaweed/Gracilaria spp., and (C) combination of seaweed and pellet with three replicates in each treatment. The result of the experiment indicated that different feeding resulted in significant difference (P<0.05) on growth of width and length of shell and body weight abalone juvenile F-1 generation.
Ikan kerapu cantik merupakan hibrida antara betina kerapu macan E. fuscoguttatus dan jantan kerapu batik E. microdon. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perkembangan dan tingkah laku larva ikan kerapu cantik agar bisa diambil langkah-langkah untuk perbaikan pada pemeliharaan larva sehingga dapat meningkatkan produksi. Penelitian dilakukan di Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan Gondol, Bali Tahun 2016. Larva dipelihara pada tiga buah bak semen ukuran 10 m3 yang diisi telur dengan kepadatan 50.000 butir/bak, dipelihara hingga juvenil umur 40 hari (D40). Pemeliharaan larva diulang tiga kali dengan waktu yang berbeda, yaitu siklus 1: Januari-Maret; siklus 2 : Mei-Juli dan siklus 3 : September-Nopember. Pengamatan perkembangan dan tingkah laku larva dilakukan pada setiap siklus yang dibagi menjadi 4 kelompok umur, yakni: 1) D1 sampai D10; 2). D11 sampai D20; 3). D21 sampai D30; dan 4). D31 sampai D40. Hasil menunjukkan larva ikan kerapu cantik mulai buka mulut dan makan pada D3, aktif berenang setelah tumbuh sirip punggung dan dada yaitu D4, sirip terus berkembang menjadi duri memanjang. D7 kondisi larva terlihat padat dilakukan penjarangan. Duri punggung dan dada mulai memendek, berubah menjadi sirip mulai D30, selanjutnya menjadi juvenil dilakukan grading untuk menekan kanibalisme, D40 dengan ukuran panjang total sekitar 3 cm larva ikan kerapu cantik seluruhnya menjadi juvenil. Perkembangan dan tingkah laku larva ikan kerapu cantik berpengaruh terhadap hasil produksinya.
Tujuan penelitian adalah untuk megetahui sistem usaha benih ikan kerapu dalam rangka memenuhi kebutuhan budidaya. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Nopember 2018 di Kabupaten Buleleng-Bali. Responden penelitian adalah sepuluh pengusaha benih ikan kerapu yang berada di Kecamatan Gerokgak. Data dikumpulkan dengan metode survei, pengamatan dan wawancara dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menggambarkan bahwa benih ikan kerapu yang dipasarkan sesuai permintaan pasar yaitu cantang dan cantik. Sistem usaha benih yang dilakukan ada beberapa cara yaitu hasil pembenihan sendiri dari ukuran ± 2,7 cm benih langsung dijual atau benih didederkan hingga ukuran tertentu sesuai permintaan, membeli benih ukuran ± 2,7 cm kemudian dipelihara pada pendederan hingga ukuran sesuai permintaaan dan membeli sesuai ukuran permintaan dan langsung dikirim. Hasil analisis usaha menunjukkan bahwa R/C rasio > 1,0. Tujuan pemasaran adalah domestik dan ekspor dengan harga benih berfluktuasi tergantung waktu, mulai ukuran ± 4 cm harga sesuai dengan panjang total. Kendala kelangsungan hidup yang rendah akibat cuaca dan transportasi.
This study was aimed to get a standard protocol for vitamin C application in enrichment of Artemia nauplii and to examine the impact of vitamin C on humpback grouper larval deformity performance. Vitamin C in the form of L-ascorbyl-2-monophosphateMg (AMP-Mg) was used for the enrichment and incorporated into Artemia nauplii at a given level of 0-1.5 g/L with enrichment period of 4, 6, and 24 hours for each level. The effect of AMP on larval deformity was tested using the following treatments: unenriched both Artemia nauplii and commercial diet, un-enriched Artemia nauplii and experimental diet containing 2.5 g AMP-Mg/kg diet, enriched Artemia nauplii obtained from the protocol and commercial larval diet. Analysis of vitamin C content in Artemia nauplii was carried out using HPLC and larval deformities were observed using staining method, visual examination, or X-ray depending on larval age. The results showed that the best enrichment method of AMP in Artemia nauplii is achieved at the dose of 0.9 g/L for 6 h. The lowest percentage of abnormalities was found in larvae fed with enriched Artemia nauplii and commercial diets, suggesting that vitamin C has an important role in controlling larval deformities.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.