Tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya pemahaman yang berbeda mengeni aktivitas politik di desa. Desa adalah embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia dan basis bagi demokrasi bangsa, salah satunya dapat ditunjukkan melalui aktivitas pemilihan kepala desa (Pilkades). Aktivitas pemilihan kepala desa merupakan aktivitas politik yang menunjukkan bagaimana proses demokrasi terjadi di desa. Pilkades tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dinamika politik yang terjadi di desa. Pilkades tidak semata perebutan kekuasaan dalam rangka suksesi kepemimpinan di desa atau bagaimana strategi kampanye dilakukan agar mendapat dukungan dari masyarakat desa. Akan tetapi lebih daripada itu menyangkut gengsi, harga diri dan kehormatan sehingga bagi masyarakat desa Pilkades lebih emosional dan rasional dibandingkan dengan pemilihan-pemilihan lainnya seperti Pilkada, Pileg bahkan Pilpres. Tulisan ini mengkaji Pemilihan Kepala Desa dengan mengarahkan analisis pada tiga desa di Jawa Barat dengan tipologi berbeda yaitu Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya (Desa Tradisional); Desa Cimekar Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung (Desa Transisional); Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang (Desa Modern). Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik demokrasi dalam Pilkades di 3 (tiga) desa sebagian telah memenuhi kriteria ideal dari demokrasi, namun sebagian kriteria lainnya masih belum terpenuhi.
In this article, we provide evidence suggesting that almost half (44 per cent) of female candidates elected to Indonesia’s national parliament in 2019 were members of political dynasties. Providing detailed data on the backgrounds of these candidates, including by party and region, we argue that several factors have contributed to their rise. Parties are increasingly motivated – especially in the context of a 4 per cent parliamentary threshold – to nominate candidates who can boost their party’s fortune by attracting a big personal vote. Members of political dynasties (especially those related to regional government heads and other politicians entrenched in local power structures) have access to financial resources and local political networks – increasingly important to political success in Indonesia’s clientelistic electoral system. We show that the rise of these dynastic women candidates is not eliminating gender bias within parties, but is instead marginalising many qualified female party candidates, including incumbents.
This paper looks at the political family involved in the local politics in South Sulawesi, particularly the political recruitment mechanism and political party institutionalization from the intra-party democracy perspective. Based on qualitative analysis, the findings of this research show that, firstly, a large number of political families in Golkar Party at South Sulawesi are a product of the oligarchymeritocratic political recruitment. Political legacies such as activities insocial and political organizations give more advantages for the political families both in the political recruitment process and the access to power. Secondly, the weakness of Golkar Party's institutionalization is showed by the dependence of Golkar Party to the party's elite and the existence of factionalization within the party. As a result of such weakness, several party leaders resign from Golkar Party, thereby strengthening the role of political families in the political recruitment process. 50% of the 2014 electoral vote for the Golkar Party in the South Sulawesi Parliament has been largely contributed by the political families. Key words: political family, political party, political recruitment, political party institutionalization, intra-party democracy ABSTRAKMakalah ini menganalisis keluarga politik dalam politik lokal di Sulawesi Selatan, khususya tentangmekanisme rekrutmen politik dan daninstitusionalisasi partai 142politik dalam perspektif demokrasi intra-partai. Berdasarkan analisis kualitatif, temuan penelitianinimenunjukkanbahwabanyaknyakeluargapolitikdalamPartaiGolkar Sulawesi selatan karena mekanisme rekrutmen yang bersifat oligarki-meritokratik. Adanya pewarisan aktifitas social, politik dan pewarisan konstituen memberikan peluang yang lebih besar bagi keluarga politik dalam rekrutmen politik. Selain itu, institusionalisasi yang masih lemah yang tergantung kepada actor politik/elite politik di satu sisi, dan adanya faksionalisasi dalam organisasi partai yang mengakibatkan mundurnya pengurus partai berakibat pada semakin kuatnya keluarga politik. Lebih dari 50 % suara yang diperoleh oleh Anggota DPRD Sulawesi Selatan pada pemilu 2014 berasal dari keluarga politik.
Even prior to Indonesia's declaration of independence, political parties ourished as part of the political landscape of the archipelago and played a signi cant role in Indonesia's struggle for independence. Instead of contributing to political development and institutionalisation, however, some political parties prove to be unable to survive the test of time. Indeed, one reason for this is internal con ict among party elites. Here I discuss the case of the Indonesian Islamic Union Party (PSII, Partai Syarikat Islam Indonesia), Indonesia's rst Islamic party, before its ultimate demise. is article argues that PSII's destruction was the result of unresolved con icts among the party's elite. In fact, an examination of the party's history reveals that party unity was fractured for decades as a result of protracted con icts that resulted in its dissolution. Its return to politics during the newly democratic elections after 1998 remained compromised by the same chronic problem, which affected its ability to generate sufficient popular support to meet the prescribed electoral threshold.
Penelitian ini menggambarkan koalisi partai politik calon tunggal pilkada Lebak tahun 2018. Sebagai negara dengan sistem multipartai dan memiliki perbedaan koalisi di tingkat pusat dengan daerah, partai politik tersebut ternyata tidak memperkuat peran penghadiran kandidat dalam pilkada. Melalui metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, penelitian ini menggunakan teori Michael Laver yang menyatakan bahwa koalisi dibentuk hanya untuk memaksimalkan kekuasaan (office seeking), serta didukung oleh teori Katz and Mair yang menyatakan bahwa semua partai memiliki kepentingan yang sama, yaitu hanya memelihara kelangsungan hidup kolektif mereka. Hasil penelitian menunjukan bahwa koalisi partai politik pada pilkada Kabupaten Lebak memiliki motif pragmatis, yaitu seluruh partai politik secara kompak mengusung calon dari kalangan petahana yang akhirnya tidak memberikan dukungan kepada calon independent, sehingga tidak memunculkan partai oposisi. Selain itu, koalisi dilakukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan dan meningkatkan perolehan suara partai politik menjelang pemilihan legislatif tahun 2019. Di sisi lain, hal tersebut menunjukan kegagalan partai politik dalam menjaring kader-kader terbaik partainya pada tataran politik lokal. Dengan demikian, koalisi yang dibangun hanya memunculkan calon tunggal tanpa oposisi pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2018.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.