The landscape of the Indonesian public sphere amidst the rise of new media has opened both opportunities and threats dealing with Islamic teaching. This condition shapes a danger for the two largest of moderate Muslim Organisations (Muhammadiyah and Nahdatul Ulama/NU), in which they do not engage a lot of this development of the digital platform. Consequently, dealing with religious issues, their voices become voiceless. By employing desk research through some relevant references and collecting information from social media, specifically Instagram and Youtube, this article examines the role of the Islamic organization of moderate Islam in the rapid of the digital platform as the new of the public sphere. The article finds that they have difference respond to dealing with the presence of the new religious authorities. In comparison, while Muhammadiyah is more accepting of them calmly, NU is more reactively in responding.Lanskap ruang publik Indonesia di tengah muncunya media sosial membuka kesempatan sekaligus ancaman terkait dengan dakwah Islam. Hal itu merupakan ancaman bagi dua organisasi besar Moderat Islam di Indonesia (Muhammadiyah dan NU), di mana mereka menjadi kelompok minoritas dalam aktivitas dakwah online. Akibatnya, berkaitan dengan issu-isu keagamaan, suara mereka menjadi tidak terdengar/didengarkan. Dengan melakukan riset studi literatur yang relevan dan informasi yang didapatkan dari akun media sosial, khususnya Instagram dan Youtube, artikel ini menjelaskan peranan organisasi Islam moderat di tengah cepatnya platform digital di ruang publik. Artikel ini menemukan bahwa Muhammadiyah dan NU memiliki respon yang berbeda terkait dengan kehadiran otoritas keagamaan baru. Sebagai perbandingan, penerimaan Muhammadiyah terhadap kehadiran mereka terlebih lebih biasa ketimbang dengan NU yang reactif.
<p>Television, music videos, films, and pop bands are all part of global popular culture and thought to be the product of “the west”. These media are therefore often seen as a threat to the identities of nationalities, local cultures, and religious groups. In contrast, in the context of Indonesian Muslims, the Indonesian Ulama Council’s (Majelis Ulama Indonesia, MUI) showed support for Fatin Shidqia Lubis to the singing contest of Indonesian X Factor, 2013. This paper intends to study the presence of Fatin Sidqiah as the winner of Indonesian X Factor and the response of Indonesian muslims regarding Islamic popular culture in Indonesia. This paper argues that the presence of Islamic popular culture in Indonesia through books, novels, films, as well as fashion, show that Indonesian Islam and muslims are compatible not only with democracy but also with global popular culture. In addition, the presence of Fatin is a symbol of young Indonesian muslims who already connect globally. Whatever they consume in terms of popular culture is intrinsic to the creation of their hybrid identities, as both Indonesian muslims and global citizens.<br />[Televisi, musik, film, dan bands merupakan bagian dari budaya popular dunia dan selalu dipandang sebagai produk “barat”. Karenanya, media ini sering dianggap sebagai ancaman bagi identitas nasional, budaya lokal, dan kelompok agama. Namun, dalam konteks keindonesiaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan dukungan kepada Fatin Sidqia Lubis dalam kompetisi menyanyi “Indonesian X Factor” Tahun 2013. Tulisan ini mencoba menelisik kemunculan Fatin sebagai pemenang “Indonesian X Factor” dan tanggapan masyarakat mengenai budaya pop Islam di Indonesia. Melalui artikel ini penulis berpendapat bahwa kehadiran budaya pop di Indonesia dalam berbagai buku, novel, film, serta pakaian menunjukkan bahwa Islam dan masyarakat Islam di Indonesia tidak hanya sejalan dengan demokrasi, tetapi juga dengan budaya pop dunia. Lebih dari itu, Fatin adalah simbol muslim muda Indonesia yang telah terhubung dengan dunia. Apa pun yang mereka nikmati dalam hal budaya pop telah menciptakan identitas ganda: sebagai muslim Indonesia sekaligus sebagai warga dunia.]</p>
Artikel ini melihat kemunculan buzzers (penggaung) politik sekaligusinfluencer (subyek berpengaruh) di Indonesia pasca rejim Orde Baru dalam memproduksi informasi, mempengaruhi publik dan berdampak terhadap elektablitas tokoh politik yang mengajukan diri sebagai pemimpin dalam politik elektoral. Ada tiga pertanyaan yang diajukan; kekuatan struktur apa yang mempengaruhi perubahan sekaligus pergeseran arena politik dari mobilisasi massa turun ke jalan melalui keramaian kemudian menjadi ranah online? Bagaimana dampak perubahan lanskap tersebut seiring dengan kemunculan otoritas-otoritas baru dengan kehadiran penggaung politik sebagai sumber referensi pengetahuan yang menjadi preferensi pilihan warganet sekaligus mempengaruhi elektabilitas seorang calon dalam politik elektoral? Apa dampak ikutan yang muncul dalam ranah maya ini? Artikel ini berargumen bahwa kemunculan internet dan media baru, ditandai dengan kehadiran media sosial, setidaknya telah menggeser distribusi informasi pengetahuan yang sebelumnya mutlak digenggam oleh oligarki pemilik media lama (televisi, media cetak, radio). Pergeseran struktur media ini membawa dampak terhadap kemunculan otoritas-otoritas baru dengan kehadiran penggaung, yang sebelumnya hanya digunakan dalam ranah periklanan. Sebagai bagian dari agensi, otoritas baru ini membawa kepada dua wajah; kreativitas dalam mengkampanyekan gagasan dan aktivitas destruktif yang dapat memecah sensivitas solidaritas kebangsaan dan kenegaraan di level akar rumput.
Artikel ini menjelaskan mengenai masa depan demokrasi Indonesia di tengah ancaman Populisme Islam dengan melihat pertautan media sosial dengan mengajukan tiga pertanyaan; bagaimana politik elektoral dipengaruhi oleh disinformasi melalui media sosial sebagai cara dan strategi untuk menghancurkan lawan politik? Wacana-wacana apa saja yang muncul dalam disinformasi tersebut sebagai pendulum menguatkan sekaligus menyerang politik lawan? Bagaimana masa depan demokrasi Indonesia di tengah disinformasi masyarakat dan populisme Islam di Indonesia? Artikel ini berargumen bahwasanya disinformasi merupakan gejala yang tidak hanya menimpa Indonesia, melainkan juga secara global. Dalam runtutan sejarah, peristiwa 1965-1966 merupakan titik awal bagaimana hoaks dan fitnah itu digunakan dalam disinformasi yang mengacaukan bangunan logika masyarakat Indonesia sehingga tidak bisa melihat batas tegas masa lalu dan masa depan pada saat ini serta titik perbedaan antara fiksi dan realitas dalam tautannya dengan isu sosial dan politik. Kehadiran media sosial, menguatnya populisme Islam, berkawin-mawin dengan predator politik dalam politik elektoral memperparah kondisi tersebut, mengakibatkan kemunculan narasi-narasi yang berasal dari tautan masa lalu, kebijakan politik, sekaligus fitnah yang tidak diselesaikan sebelumnya. Disinformasi dalam tautan populisme Islam yang dimainkan oleh predator politik ini berakibat tuntutan yang lahir dari masyarakat agar negara memiliki kebijakan tangan besi.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.