Omnibus law menjadi perdebatan dikalangan masyarakat sejak pemerintah mencanangkan menggunakannya dalam pembentukan undang – undang, pro dan kontra hadir dikarenakan metode Omnibus law cenderung digunakan oleh negara yang bermatra common law sistem. Namun, kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja menjadi jawaban bahwa metode ini juga kontekstual dan relevan untuk digunakan pada civil law sistem. Penelitian ini berfokus untuk menjawab (a) Omnibus law Dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (b) Hakekat Peraturan Daerah; (c) Penggunaan Metode Omnibus law dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui, memahami, dan menganalisa Omnibus law Dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hakekat Peraturan Daerah, dan merumuskan Penggunaan Metode Omnibus law dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan metode Omnibus law dapat diimplementasikan terhadap subtansi materi muatan Peraturan Daerah yang ketentuan pembentukannya didasarkan atas pelaksanaan undang-undang yang juga dibentuk melalui metode Omnibus law.
Perkembangan Hukum di Indonesia, senantiasa mengalami perubahan. Begitu juga dengan Hukum Pidana. Salah satu hal substansial yang mengalami perubahan dalam Hukum Pidana adalah terjadinya perubahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Perkembangan Hukum Pidana yang terjadi memungkinkan dilakukan dekriminalisasi terhadap delik. Seperti Pasal 134,136 bis 137, 154, 155, 209,210, 387,388, 415 sampai dengan 420, 423, 425, 435 dan beberapa pasal lainnya. Sementara itu, Pasal 1 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan paling ringan bagi terdakwa. Subyek Hukum Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah terdakwa, begitu juga bila terjadi dekriminalisasi maka Subyek Dekriminalisasi adalah Terdakwa. Terjadinya dekriminalisasi terhadap delik didasarkan oleh adanya pertimbangan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis, sehingga peraturan dapat berubah. Dengan adanya perubahan paradigma terhadap suatu delik. Maka, perubahan ini sepatutnya juga dirasakan oleh para Terpidana maupun mantan terpidana. Status terpidana dan mantan terpidana yang disandang oleh seseorang namun delik yang dilakukan tidak lagi dianggap sebagai tindak pidana, sudah tentu harus mendapat perhatian khusus. Tulisan ini mengangkat isu Keadilan bagi Terpidana dan mantan terpidana atas delik yang dilakukan bukan lagi menjadi delik hukum. Metode yang digunakan yaitu secara Normatif berdasarkan pendekatan Kepustakaan.
Handling election violations abroad is one of the determinants of the quality of elections in Indonesia, with the rise of cases that occurred abroad during the 2019 general election, it is hoped that this will be a lesson to make an ideal design for handling election violations abroad in 2024. This research is executed differently from existing or previous research, Example “The novelty of this research will make a significant contribution to determining the means, size, and function of the parliamentary threshold in the legislative election”. The conclusions of the research show that first, the urgency of handling election violations abroad to create order and peace, protect constitutional rights and uphold justice. Second, to realize the ideal design in handling election violations abroad in 2024, it is carried out increasing the number of members of the Overseas General Elections Supervisory committee from 3 to 5 people, making changes to Article 112 letter c, Article 507 of the Election Law, Article 13 paragraph (4) of the Regulation of General Elections Supervisory Agency Number 7 of 2018 and Article 60 paragraph (1) of the Regulation of General Elections Supervisory Agency Number 8 of 2018, and changing the paradigm of law enforcement from compliance level to internalization of legal compliance in the 2024 elections.
Diversi merupakan salah satu sistem penyelesaian tindak pidana anak, yang dilakukan di luar pengadilan pidana. Sistem Peradilan Pidana Anak, merupakan lex spesialis dan satu-satunya sistem dalam hukum pidana yang menggunakan sistem diversi. Keterlibatan banyak pihak menjadi salah satu keunikan sistem ini, serupa namun tak sama, begitulah perbandingan antara sistem diversi dengan mediasi. Keterlibatan beberapa pihak inilah menjadi ciri pembeda antara diversi dengan mediasi, bila mediasi hanya melibatkan pihak-pihak yang berkonflik, diversi melibatkan bukan hanya pihak yang berkonflik namun juga melibatkan pihak lain seperti tokoh masyarakat, orang tua (anak pelaku tindak pidana), tokoh agama, guru dan aparat penegak hukum. Namun dari semua pihak yang terlibat, guru dianggap salah satu pihak yang memiliki peran besar. Sebab guru sebagai pengganti orang tua, memiliki waktu bersama anak lebih banyak dibandingkan dengan pihak-pihak lainnya. Olehnya dalam penelitian ini mengangkat isu tentang bagaimana peran guru dalam proses diversi tindak pidana tindak pidana anak? Tujuan penelitian untuk mengetahui sejauh mana peran seorang guru sebagai tenaga pendidik dalam penyelesaian perkara pidana melalui sistem diversi. Adapun metode penelitian dengan menggunakan sistem social jurosprudence. Dan kesimpulan pada penelitian ini, bahwa peran guru terhadap pelaksanaan diversi pada tindak pidana anak sangatlah dibutuhkan, sebab guru mampu melakukan pendekatan dengan menggunakan psikologi pendidikan melalui konteks kepribadian, intelektual, maupun emosi kejiwaan anak guna mengarahkan anak menjadi pribadi intelektual masa depan. Oleh sebab itu, undang-undang memberikan ruang terhadap guru hadir dan berperan pada proses diversi tindak pidana anak. Kata Kunci : Guru, Diversi, Tindak Pidana dan Anak
The purpose of this paper is to find the ideal form of punishment for perpetrators of sexual violence who suffer from deviant sexual behavior. The method in this study is a normative legal research type, where activities are carried out by researching and analyzing the forms of sanctions and punishments regulated in positive law, in addition to conducting a comparative study of the provisions in positive law in Indonesia in the perspective of the types of sanctions against perpetrators of sexual violence crimes. who suffer from deviant sexual behavior. The results show that the ideal form of sanctions imposed on perpetrators of sexual violence who suffer from deviant sexual behavior should not only focus on imprisonment, however, it must be accompanied by other treatments or actions to treat the deviations in sexual behavior he suffers as mandated in the Sexual Violence Criminal Act, which is to combine imprisonment and special rehabilitation to cure his sexual behavior deviations. With the imposition of imprisonment alone, it will not be able to treat the main factor that triggers sexual violence crimes committed by perpetrators who suffer from deviant sexual behavior, so that rehabilitation or treatment efforts are important things that must be done so that there is no repeated or recidive crime.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.