Pruritus merupakan sensasi tidak nyaman yang mencetuskan keinginan untuk menggaruk. Sensasi tersebut disebabkan oleh berbagai hal, misalnya penyakit kulit, penyakit sistemik, atau idiopatik, gangguan psikiatri, serta penyakit neurologis. Pruritus menjadi masalah kesehatan karena dapat memberi dampak negatif terhadap kualitas hidup pasien. Pendekatan tata laksana pruritus diberikan secara bertingkat mulai dari terapi dasar, terapi target, dan terapi simtomatik. Pada kasus pruritus kronik yang refrakter maupun pruritus tanpa sebab yang diketahui, terapi simtomatik berperan besar dan dapat diberikan pada pasien tersebut. Tata laksana pada pruritus kronik saat ini banyak diteliti seiring dengan ditemukan berbagai mekanisme yang mendasari terjadinya pruritus. Sesuai dengan patofisiologi dari pruritus, terapi sistemik yang dikembangkan menargetkan pada reseptor spesifik di sistem saraf dan sistem imunitas yang berperan pada jalur sinyal pruritus. Berbagai terapi terbaru yang masih diteliti dalam uji klinis menunjukkan hasil yang menjanjikan dan berpotensi menjadi pilihan terapi pada pasien dengan pruritus kronik.
Dermatitis stasis merupakan penyakit kulit inflamasi yang umum terjadi di ekstremitas bawah, ditandai dengan eritema, skuama, erosi, krusta, dan terkadang juga dapat ditemukan vesikel, serta ulserasi kecil di kulit yang dikenal sebagai ulkus stasis atau ulkus venosum. Faktor risiko dermatitis statis antara lain usia di atas 50 tahun, obesitas, dan jenis kelamin perempuan. Dilaporkan tiga kasus dermatitis stasis pada pasien geriatri laki-laki yang datang ke Rumah Sakit dr.Cipto Mangunkusumo dan ketiganya disertai komorbiditas obesitas. Tata laksana pada ketiga pasien ini melibatan departemen lain (multidisiplin) dan membuahkan hasil yang baik.
Penegakkan diagnosis penyakit inflamasi kulit dilakukan berdasarkan anamnesis, gambaran morfologi, serta distribusi dari lesi. Namun, terkadang klinisi kesulitan untuk menyingkirkan diagnosis banding penyakit yang dialami oleh pasien. Dermoskopi merupakan alat diagnostik non-invasif yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis kelainan kulit. Dermoskopi dapat membantu visualisasi struktur di bawah permukaan kulit hingga ke dermis superfisialis dan memperlihatkan morfologi lesi yang sulit teramati secara kasat mata. Pada awalnya dermoskopi dipakai sebagai pemeriksaan penunjang untuk tumor jinak dan tumor ganas kulit. Saat ini, dermoskopi digunakan secara luas dalam berbagai penyakit kulit antara lain penyakit infeksi dan infestasi kulit (entomodermoscopy), kelainan kuku dan lipat kuku (onychoscopy), kelainan rambut (trichoscopy), penyakit inflamasi kulit (inflammoscopy), serta membantu pengambilan keputusan dan evaluasi terapi. Pemeriksaan dermoskopi pada penyakit inflamasi kulit meliputi pengamatan morfologi dan distribusi pembuluh darah, warna dan distribusi skuama, gambaran folikuler, struktur lain, serta tanda spesifik yang dapat ditemukan pada penyakit tertentu. Dengan menggabungkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan dermoskopi, diagnosis penyakit inflamasi kulit menjadi lebih akurat.Kata kunci : dermoskopi, inflammoscopy, penyakit inflamasi kulit
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.