Pembinaan narapidana di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pembinaan narapidanaa itu sendiri terdiri dari narapidana waktu tertentu tidak lebih dari 20 (dua puluh) tahun dan narapidana seumur hidup menjalani hukuman sampai meninggal dunia. Permasalahan yang muncul adalah terkait dengan pembinaan narapidana seumur hidup yang pembinaannya bersifat jangka panjang, karena tidak dapat diketahui pasti kapan seseorang meninggal. Sementara pembinaan narapidana berdasarkan paraturan perundang-undangan yang berlaku adalah pola pembinaan secara umum untuk seluruh narapidana taanpa membedakan lama pidana dari narapidanaa itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana pola pembinaan narapidana seumur hidup tersebut dalam kebijakan implementasinya. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dimana dalam penelitian ini nanti akan dikaji mengenai kebijakan hukum pidana dalam pembinaan narapidana seumur hidup, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa pola pembinaan narapidana seumur hidup didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu pola pembinaan yang berlaku secara umum untuk seluruh narapidana tanpa membedakan lama pidana yang yang dijatuhkan terhadap narapidana. Terhadap narapidana yang dijatuhi pidana seumur hidup belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus terkait dengan pembinaannya. Dengan kata lain pembinaan narapidana seumur hidup mengikuti pada paraturan perundang-undangan yang sudah ada. Sistem pemasyarakatan memberikan pembinaan sesuai tahapan baku. Kebijakan implementatif tetap menempatkan narapidana seumur hidup berada di dalam sistem pemasyarakatan, akan tetapi agak sulit menentukan tahapan-tahapan pembinaannya karena masa pidana dari narapidana seumur hidup tidak terbatas.
Tujuan penelitian ini adalah, pertama, untuk mengetahui, menganalisis serta mengkritisi pengaturan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia. Kedua, untuk menemukan dan menganalisis pengaturan mengenai permohonan PK yang ideal kedepannya dalam perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia. Berpijak dari tujuan penelitian tersebut, maka dirumuskanlah 2 (dua) permasalahan yaitu: (1) Bagaimanakah pengaturan permohonan PK yang diajukan oleh JPU dalam perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia? (2) Bagaimanakah pengaturan PK dalam perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia untuk kedepannya?. Metode penelitian yang dipergunakan dalam melakukan pembahasan dari permasalahan yang telah dirumuskan tersebut adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan konseptual, perundang-undangan, sejarah dan kasus hukum. Setelah dilakukan penelitian, maka hasil yang diperoleh, pertama, dalam perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia JPU berhak mengajukan permohonan PK terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan prinsip dasarnya menguntungkan terpidana atau ahli warisnya, namun hal yang demikian ini tidaklah bersifat mutlak, karena dalam keadaan tertentu dapat pula diajukan permohonan PK oleh JPU terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap jika tidak terwujudnya kebenaran materil, dalam hal ini permohonan PK tersebut kemungkinan besar justru akan memberatkan terpidana; Kedua, pengaturan mengenai upaya hukum PK yang ideal untuk kedepannya agar JPU diberikan hak secara tegas untuk mengajukan permohonan PK di dalam ketentuan Pasal 263 KUHAP, baik dalam kapasitasnya untuk meringankan maupun yang memberatkan terpidana. Sehingga rekomendasi yang ditawarkan dari adanya penelitian ini adalah, pertama, dalam perspektif sistem peradilan pidana hendaknya antara terpidana dan JPU diberikan hak secara berimbang di dalam upayanya menggunakan sarana hukum PK; kedua, jika pembentuk undang-undang menghendaki adanya penghilangan hak dari JPU di dalam upayanya mengajukan permohonan PK secara tuntas, yang sekiranya dapat merugikan terpidana, maka sebaiknya dihapuskan saja ketentuan dari Pasal 263 ayat (3) KUHAP serta perlu dilakukan penyempurnaan kembali mengenai ketentuan Pasal 264 ayat (2) KUHAP.
Pengadian Pada Masyarakat bertujuan: (1) Untuk memberikan pemahaman tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga; (2) Untuk memberikan pemahaman bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yang harus diberikan oleh pihak Kepolisian; (3) Untuk memberikan pemahaman kepada Penyidik tentang mediasi penal dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. . Masalah KDRT itu sendiri sebetulnya masalah yang sering terjadi dalam kehidupan berumah tangga, tetapi sebagaian masyarakat tidak menganggap yang dialaminya sebagai suatu perbuatan yang salah dimata hukum. Oleh sebab itu masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang KDRT, sehingga jika terjadi atau mengalami KDRT, korban dapat mengambil langkah-langkah secara hukum. Metode yang digunakan adalah metode partisipatif diharapkan mitra dapat berperan aktif dalam kegiatan penyuluhan hukum dalam bentuk (1) Ceramah Sosialisasi UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang KDRT; (2) Penyuluhan hukum tentang materi UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang KDRT; (3) Penyelesaian KDRT melalui mediasi penal. Kesimpulan: Penyuluhan Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Kepada Anggota Polisi Dan Penyidik di Kepolisian Resort (POLRES) Kabupaten Tanjung Jabung Barat”, menunjukkan bahwa akseptabilitas yakni tingkat penyerapan mitra terhadap kegiatan mengalami peningkatan pengetahuan dan pemahaman mitra tentang materi kegiatan. Yaitu adanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman peserta tentang materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tahun Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mitra mampu menyampaikan ide atau pemikiran berkaitan dengan KDRT serta dalam penyelesaian KDRT mitra telah menerapkan mediasi penal. Saran: Kegiatan penyuluhan sangat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya Aparat Penegak Hukum (Kepolisian) dalam penanggulangan KDRT, karena penegakan hukum tidak harus diselesaikan dengan penegakan hukum pidana, contohnya dalam KDRT dapat dilakukan upaya mediasi penal.
Pengaturan tindak pidana narkotika di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam undang-undang tersebut diatur tentang ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika salah satunya terhadap pengedar narkotika. Adapun ketentuan yang mengatur tentang sanksi pidana bagi pengedar narkotika tersebut diatur pada Pasal 114 yang mana pada ayat (2) disebutkan salah satu ancaman pidananya adalah pidana mati. Permasalahan adalah bagaimana penerapan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana pengedar narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan bagaimana kebijakan hukum pidana ke depan dalam pelaksanaan pidana mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika?. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Hasil penelitian bahwa Penerapan hukuman mati bagi pengedar narkotika di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah sesuai dengan hukum positif yang berlaku di negara Indonesia, yakni sesuai dengan Pasal 10 KUHP. Penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana pengedar narkotika masih relevan dilaksanakan saat ini, hal tersebut dilakukan untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dan menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia dari kehancuran yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkotika. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah tidak adanya aturan yang mengatur mengenai batas waktu pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana mati di Indonesia, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat terutama bagi terpidana mati itu sendiri, khususnya terpidana mati tindak pidana pengedar narkotika. Kebijakan kedepan dalam pelaksanaan pidana mati bagi pengedar narkotika masih perlu dilaksanakan karena hal tersebut telah sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Pelaksanaan eksekusi mati sebaiknya dilakukan setelah siterpidana mati melakukan semua upaya hukum dalam batas waktu 5 tahun.
Tujuan penelitian ini adalah, pertama, untuk mengetahui faktor penyebab penyalahguna ecstasy di kota Jambi. Kedua, untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap penyalahguna ecstasy di kota Jambi. Berpijak dari tujuan penelitian tersebut, maka dirumuskanlah 2 (dua) permasalahan yaitu: (1) Apakah faktor penyebab penyalahguna ecstasy di kota Jambi? (2) Bagaimanakah upaya penangulangan terhadap penyalahguna ecstasy di kota Jambi?. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis empiris. Hasil dari pembahasannya yaitu pertama, faktor penyebab penyalahguna ecstasy di kota Jambi adalah faktor intern atau faktor yang berasal dari dalam diri sipenyalahguna itu sendiri yang yang terdiri dari kepribadian dan rasa ingin tahu, usia dan pendidikan, faktor ekstern yang terdiri dari faktor lingkungan pergaulan dan faktor keluarga yang kurang harmonis; Kedua, upaya penanggulangan terhadap penyalahguna ecstasy di kota Jambi yaitu dengan melakukan upaya preventif berupa memberikan penyuluhan tatap muka kepada masyarakat dan pengedaran pamflet dan melakukan razia ditempat-tempat hiburan, upaya represif dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan secara tuntas terhadap penyalahguna ecstasy dan juga mengadakan koordinasi dengan instansi lain dalam melakukan rehabilitasi terhadap penyalahguna ecstasy yang meliputi pengungkapan dan penyelesaian kasus. Sehingga rekomendasi yang ditawarkan dari adanya penelitian ini adalah, pertama sangat diperlukannya peran serta dan dukungan dari masyarakat, baik itu peran dari orang tua itu sendiri, tenaga pendidik, serta meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan Ormas atau organisasi masyarakat yang ada di daerah sekitar kedua Perlu adanya peningkatan sumber daya Manusia (SDM) terkhusus dibidang Satresnorkotika serta peningkatan strategi pencegahan serta penanggulangan tindak pidana narkotika, mengingat potensi kejahatan tindak pidana narkotika semakin meningkat serta modus operandi yang berkembang dengan adanya teknologi dan informasi yang semakin canggih.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
customersupport@researchsolutions.com
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.
Copyright © 2025 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.